MENGAPA ENGKAU TIDAK MENIKAHI GADIS? (Art.Refleksi Hikmah)

Seorang pemuda sebut saja Ahmad sedang temangu dalam kesendirian. Ia tak kuasa menahan air mata. Hatinya seolah hancur menjadi kepingan ketika ia merenungi keadaan dirinya. Ia dihadapkan pada dua pilihan yang membuatnya dilema. Kemudian disaat seperti itu datang lagi ujian baru yang menjadikannya semakin remuk dan terpuruk.

Biduknya tertumbuk di tepian karang. Ia masih bimbang menentukan sikap; apakah akan dibelokkan kekiri atau kekanan. Saat pilihan belum tampak gelombang besar pun datang menghantam, menghempaskannya ke bebatuan. Biduknya pecah, dayungnya hilang. Sementara ia sendiri masih berusaha merangkak menyelamatkan diri dengan tubuh penuh luka.

Ahmad telah membulatkan tekad untuk menikah, mengingat memang sudah waktunya. Segala persiapan ia pandang sudah cukup untuk melangkah. Meskipun penghasilannya hanya pas-pasan, namun ia rasa itu sudah cukup untuk bekal berumah tangga. Disamping keyakinannya bahwa Allah-lah yang menjamin rezekinya.

Akhirnya jalan menuju kesana ia tempuh. Detik waktu telah mengantarkannya kepada calon pendamping idaman. Tahapan demi tahapan ia lalui. Semua serasa mudah karena jalan masih landai.

Sampailah di ujung jalan. Bagian datar sudah tiada, sekarang jalan mulai mendaki. Kian lama kian terjal, berbatu dan berliku. Semua seolah berubah, yang semula begitu mudah menjadi sukar. Benang kusut, tak tahu mana ujung mana pangkal. Masalah demi masalah bertumpuk, membuat sempit dada dan sakit kepala.

Saat ia di jalan menuju pernikahan, hampir sampai, sudah setengah jalan, datanglah kabar yang tidak diinginkan. Kakaknya yang selama ini menanggung hidup ibunya tercinta tengah diuji pula. Keadaannya sungguh sangat sulit dan memprihatinkan. Tidak memungkinkan untuk menanggung biaya hidup ibu yang sudah renta. Dengan cucuran air mata ia sampaikan hal itu ke Ahmad, berharap semoga Ahmad punya jalan keluar untuk hal itu.

Tinggallah Ahmad bersama kegundahan. Hatinya pilu bagai disayat sembilu. Pilihannya sudah jelas didepan mata. Hanya tinggal memilih satu dari keduanya.

Terbayang raut wajah ibunya. Kerutan-kerutan di wajah dan kulitnya terlintas jelas. Terkenang pancaran sinar mata yang sudah mulai redup, senyuman kasih sayang, dekapan hangat, pengorbanan sang ibu yang tiada henti. Tak sanggup ia membendung air mata.

Disisi lain teringat pula indahnya pernikahan, kebahagiaan, ketenangan hidup, pendamping yang siap mendengarkan dan berbagi cerita lelahnya kehidupan, yang akan menghilangkan rasa sepi dan kesendirian.

Tapi ia hanyalah seorang pemuda yang tak punya.
Penghasilannya tidak mungkin untuk menggabungkan keduanya. Ia harus memilih antara berbakti kepada ibu atau melanjutkan perjalanan menuju pernikahan. Masing-masing pilihan mempunyai kosekuensi tersendiri yang sama-sama tidak mengenakkan.

Hari berganti waktu terus berjalan. Akhirnya Ahmad memang harus mengambil pilihan. Tidak ada pilihan lain bagi Ahmad selain mendahulukan ibunya. Bagaimana mungkin ia wujudkan kesenangan dan kebahagiaan dirinya sementara ibunya berada dalam keterlantaran. Ia korbankan kebahagiannya demi ibu tercinta. Pernikahan berusaha ia lupakan untuk sementara, berharap mudah-mudahan Allah segera memudahan segala urusannya.

Kami tidak menyalahkan engkau sedikit pun wahai Ahmad atas apa yang engkau rasakan. Jika kami menjadi engkau, kami pun tidak ragu lagi akan merasa persis seperti apa yang engkau rasakan. Namun jangan berkecil hati, engkau punya teladan dalam hal ini.

Jabir bin Abdillah adalah seorang sahabat Nabi yang mulia. Ayahnya gugur di medan perang dan meninggalkan 9 orang saudara perempuan yang semuanya menggantungkan hidup kepadanya.

Tidak hanya sampai disitu, ayahnya juga meninggalkan banyak hutang yang harus ditanggungnya, padahal ia masih seorang pemuda  belia. Akibatnya, Jabir selalu berpikir keras dan pikirannya disibukkan dengan urusan hutang dan saudara-saudara perempuannya.

Namun meskipun begitu, Jabir tetap tidak ingin ketinggalan dalam beramal kebajikan. Ia tetap ikut serta dalam perang bersama Rasulullah.

Dalam sebuah perjalanan perang, Rasulullah mendapati Jabir berada di barisan paling belakang disebabkan unta yang ditungganginya adalah unta yang kurus dan lemah bahkan nyaris tidak bisa berjalan. Kemudian Nabi bertanya:
“Kenapa engkau wahai Jabir?”
Jabir: “Wahai Rasulullah, untaku ini yang membuatku lambat.”
Nabi: “Istirahatkan untamu”
Jabir  mengistirahatkan untanya dan Nabi pun mengistirahatkan untanya.

Lalu Nabi bersabda: “Berilah aku tongkat dari tanganmu, atau potonglah tongkat dari pohon dan berikan padaku.”

Kemudian Jabir memberikan tongkat kepada beliau. Unta Jabir duduk di tanah dalam kondisi letih dan lemah. Nabi menghampiri unta tersebut dan memukulnya dengan tongkat itu sedikit saja. Tiba-tiba unta tersebut bangkit dan berlari dengan penuh semangat.

Jabir senang sekali melihatnya dan segera naik kepunggungnya. Jabir berjalan di samping Nabi dengan perasaan senang dan gembira.
Kemudian Nabi kembali bertanya kepada Jabir.
“Hai Jabir, apakah engkau sudah menikah?”
“Sudah, wahai Rasulullah”  jawab Jabir
”Gadis atau janda?”  tanya Nabi pula
”Janda” jawab Jabir.

Nabi merasa heran, bagaimana mungkin seorang anak muda yang masih perjaka menikah dengan seorang janda.

Lalu sambil bercanda Nabi bertanya:”Mengapa engkau tidak menikah dengan seorang gadis yang bisa engkau ajak bermain dan dia pun bisa mengajakmu bermain?”

Jabir pun menjawab :”Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku meninggal dalam perang Uhud. Dan dia meninggalkan 9 orang saudara perempuan yang semuanya menggantungkan hidup padaku.”

Maksud ucapan Jabir: Aku tidak mau menikah dengan gadis muda seperti mereka, karena bisa terjadi banyak pertengkaran. Aku menikah dengan wanita yang lebih tua dari mereka supaya bisa menjadi seperti ibu mereka. 

Lihatlah sahabat yang satu ini. Ia adalah seorang pemuda yang rela mengorbankan kesenangan pribadinya demi saudara-saudara perempuannya. Ia tidak menikahi gadis bukan karena ia tidak ingin, bukan pula karena ia tidak tahu kesenangan menikahi seorang gadis. Namun semua itu ia lakukan demi kemaslahatan yang lebih besar.

Memang pengorbanan itu dibutuhkan. Seandainya tidak ada perngorbanan, tidak ada yang mau mengalah, semua orang mengedepankan kepentingan masing-masing, maka kehidupan manusia akan hancur berantakan. Kemanapun pergi  yang dijumpai hanyalah kekacauan.
Lalu lintas awut-awutan, mobil-mobil saling bertabrakan.

Di tempat-tempat umum terjadi kegaduhan karena tidak ada kata antrian yang ada adalah hukum rimba; siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Rumah tangga pecah. Pertengkaran berakhir dengan kata pisah karena suami istri tidak ada yang mau mengalah.

Semoga Allah merahmati Jabir bin Abdillah, Ahmad dan orang-orang yang seperti mereka. Alangkah butuhnya manusia kepada pengorbanan.

Rela berkorban demi kemaslahatan yang lebih besar adalah sifat terpuji. Sulit ditemukan orang-orang dengan sifat ini, karena memang sifat ini sifat yang berat yang terkadang harus dipikul dengan air mata. Hanya orang-orang berjiwa besar saja yang sanggup memikulnya.

Zahir Abu Zaid Al-Minangkabawi

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !