Puasa Menyucikan Jiwa, Memaafkan Menyembuhkan Luka

Puasa ramadhan adalah salah satu ibadah yang sangat penting. Hikmah dan tujuan pensyariatannya sangat jelas disebutkan dalam ayat yang menjadi dasar pewajibannya. Yaitu firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Ibnu ‘Asyur berkata:

وقَوْلُهُ: ﴿لَعَلَّكم تَتَّقُونَ﴾ بَيانٌ لِحِكْمَةِ الصِّيامِ وما لِأجْلِهِ شُرِعَ

Firman Allah “agar kalian bertakwa” adalah penjelasan terhadap hikmah dan tujuan disyariatkannya ibadah puasa.[1]

Pemaaf adalah sifat orang yang bertakwa

Di beberapa ayat dalam Al-Qur’an, Allah menyebutkan maksud dari takwa serta sifat dan ciri orang-orang yang bertakwa. Diantaranya firman Allah:

وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133) الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Dan bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya (seperti) langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (133) yaitu orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, serta orang-orang yang menahan amarah dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali ‘Imran: 133-134)

Dalam ayat ini secara tegas Allah menyebutkan bahwa salah satu sifat dan ciri orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang bisa menahan amarah dan pemaaf.

Pengertian sifat Pemaaf

Pemaaf adalah sifat yang sangat terpuji dan mulia. Sifat yang dimiliki oleh para nabi dan rasul serta merupakan sifat khas orang-orang shalih dan beriman. Hasan Al-Bashri berkata:

أَفْضَلُ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِ الْعَفْوُ

“Akhlak terbaik seorang mukmin adalah sifat pemaaf.”[2]

Kata Al-‘Afuw (memaafkan) secara bahasa adalah meninggalkan sesuatu.[3] Secara istilah, Al-Kafawi[4] berkata:

العَفْوُ: كَفُّ الضَّرَرِ مَعَ القُدْرَةِ عَلَيْهِ، وَكُلُّ مَنْ اسْتَحَقَّ عُقُوبَةً فَتَرَكَهَا فَهَذَا التَّرْكُ عَفْوٌ.

“Al-‘Afwu (maaf) adalah menahan diri dari memberikan bahaya padahal memiliki kemampuan untuk melakukannya. Setiap orang yang berhak mendapatkan hukuman, tetapi hukuman itu tidak diberikan kepadanya, maka tindakan meninggalkan hukuman tersebut disebut sebagai ‘afwu (pemaafan).”[5]

Manfaat sifat pemaaf

Pemaaf akan mendatangkan banyak kebaikan dan manfaat, baik di dunia maupun di akhirat. Diantaranya:

  1. Tanda kesempurnaan iman
  2. Termasuk akhlak mulia
  3. Sebab kecintaan Allah dan manusia
  4. Tanda kelapangan dada dan berbaik sangka
  5. Obat bagi luka dan jalan menggapai kedamaian

Sifat sulit memaafkan

Meskipun dikenal sebagai bangsa yang ramah dan penuh tenggang rasa, masyarakat Indonesia sering kali sulit untuk memaafkan kesalahan, terutama dalam konteks sosial dan politik. Beberapa alasan utama di balik fenomena ini antara lain:

  1. Budaya “harga diri” yang tinggi – Banyak orang merasa bahwa memaafkan sama dengan menunjukkan kelemahan, sehingga mereka lebih memilih untuk menyimpan dendam daripada berdamai.
  2. Pengaruh Pendidikan dan Pola Asuh. Banyak orang diajarkan sejak kecil untuk menghormati keluarga dan menjaga martabat. Jika merasa dikhianati atau disakiti, mereka cenderung menyimpan dendam sebagai bentuk “pembelaan diri”.
  3. Lingkungan yang Tidak Mendukung Proses Memaafkan. Jika seseorang dikelilingi oleh orang-orang yang juga pendendam, mereka cenderung mengikuti pola yang sama. Tekanan sosial bisa membuat seseorang sulit untuk memaafkan.
  4. Nilai historis dan kultural – Dalam beberapa aspek, masyarakat Indonesia memiliki sejarah panjang dalam menyimpan dendam dan tidak mudah melupakan konflik, baik dalam skala pribadi maupun nasional. Beberapa konflik di Indonesia meninggalkan trauma yang sulit dihilangkan. Contohnya, konflik politik, etnis, atau agama yang masih membekas hingga generasi berikutnya.

Dendam adalah seni menyiksa diri

Jika kita mau merenungkan, kita akan tahu bahwa seorang pendendam itu adalah dia yang sedang menikmati penyiksaan terhadap dirinya sendiri. Kenapa tidak? Seharusnya ia punya ruang kosong dalam hatinya. Ia bisa saja mengisi ruang itu dengan kebahagian atau membiarkannya kosong menunggu kebahagian baru datang. Namun ia lebih memilih mengisinya dengan kebencian, mempersilakannya masuk dan kemudian memberikan izin tinggal.

Dia sendiri yang akhirnya membebani diri. Ketenangan hati hilang lantaran adanya kebencian. Padahal Allah berfirman:

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ 

“Dan janganlah kamu jatuhkan (dirimu) kedalam kebinasaan dengan tanganmu sendiri.” (QS. al-Baqarah: 195)

Semua kita merasakan, saat kita membenci seseorang dan enggan untuk memaafkannya, ada perasaan sempit dalam diri kita yang membelenggu. Dan bisa jadi akan berimbas pada prilaku. Saat kita melihat orang yang kita benci melewati suatu jalan maka kita akan cenderung memilih jalan lain untuk menghindarinya. Sekalipun jalan lain itu lebih jauh dan menguras tenaga. Tapi kita tidak peduli, karena kebencian telah mengalahkan pertimbangan sisi ekonomis dan efisiensi tersebut.

Oleh sebab itu, jangan pernah merusak diri sendiri. Kita boleh jadi benci dalam kehidupan ini. Benci kepada seseorang, kecewa, marah. Tapi ingat nasehat lama; tidak pernah ada pelaut yang merusak kapalnya sendiri.

Belajar Memafkan dari Nabi

Mari kita lihat sejarah hidup panutan kita; Nabi Muhammad. Ketika terjadi fathu Makkah di tahun 8 H, setelah beliau dengan karunia Allah dapat menaklukannya dan masuk ke Masijidil Haram, beliau berdiri di pintu Ka’bah memandangi massa yang hadir, mengamati wajah-wajah orang-orang kafir. Kemudian berkata:

يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ، مَا تَرَوْنَ أَنِّي فَاعِلٌ بِكُمْ؟ قَالُوا: خَيْرًا، أَخٌ كَرِيمٌ وَابْنُ أَخٍ كَرِيمٍ.

“Wahai kaum Quraisy, menurut kalian, apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?” Mereka menjawab, “Kebaikan, karena engkau adalah saudara yang mulia dan putra dari saudara yang mulia.”

Dengan entengnya mereka mengatakan demikian. Padahal, semuanya terlintas kala itu; kenangan-kenangan yang menyakitkan. Apa yang mereka lakukan terhadap Nabi dan umat Islam sebelumnya berupa: pengusiran, penyiksaan, hinaan serta caci maki mereka.

Ini Bilal ada di sini, sementara bekas-bekas penyiksaan masih ada di punggungnya. Ini Ammar juga berdiri di sini, sementara peristiwa itu masih segar di pelupuk matanya, bagaimana mereka tanpa belas kasih membunuh ayah dan ibunya.

Masih tergiyang tangisan bayi, rintihan orang tua, serta orang-orang papa saat mereka memboikot Nabi berserta orang-orang Islam yang lemah selama tiga tahun di lembah Bani Amir, penderitaan demi penderitan sampai-sampai mereka harus memakan dedaunan karena kelaparan.

Sebenarnya beliau mampu menjatuhkan hukuman yang seberat-beratnya kepada mereka, karena beliau sedang berada di puncak, sementara mereka (orang-orang kafir Quraisy) tidak lagi memiliki kekuatan, mereka tak ubahnya seorang pencundang yang tengah menunggu putusan. Namun beliau tidak melakukannya. Beliau lebih memilih menjadi pemaaf ketimbang membalas dendam dan meluapkan kebencian.

Maka Rasulullah ﷺ bersabda:

فَإِنِّي أَقُولُ لَكُمْ كَمَا قَالَ يُوسُفُ لِإِخْوَتِهِ: “لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ” اذْهَبُوا فَأَنْتُمُ الطُّلَقَاءُ.

 “Aku mengatakan kepada kalian sebagaimana yang dikatakan Yusuf kepada saudara-saudaranya: ‘Tidak ada celaan atas kalian pada hari ini.’ Pergilah, kalian semua bebas.” [6]

Tips Dari Nabi Untuk Bisa Memaafkan

Memaafkan kesalahan orang lain memang tidak mudah. Karena, urusannya adalah urusan hati yang tersakiti. Bagaimana menjahit kembali luka itu tanpa menyisakan bekas sedikit pun. Sukar? Betul. Tapi, tiada yang mustahil jika Allah berkehendak.

Sebuah faidah yang ditulis oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau Bada’iul Fawa’id, tentang hal-hal yang akan memudahkan seorang untuk memaafkan orang lain.

Berangkat dari kisah hidup Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Di hari-hari kesedihan, setelah beberapa saat ditinggal oleh orang-orang yang beliau cintai, dua orang yang selama ini mengukuhkan telapak kaki hingga beliau menjadi tegar yaitu Khadijah dan Abu Thalib.

Saat kesedihan merasuki setiap jengkal perasaan, kegundahan memenuhi celah-celah jiwa. Beliau berjalan menuju Thaif dengan harapan dakwah akan diterima oleh penduduknya. Namun apa hendak dikata, bukannya permata yang didapat tapi pecahan kaca tajam yang melukai tangan.

Beliau ditolak, dengan cara yang menyakitkan. Bahkan, beliau harus mengusap darah dari wajah. Terusir dari sana dalam keadaan remuk redam dan dilempari batu. Akan tetapi, beliau justru mengatakan:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

 

“Ya Allah, ampunilah kaumku karena sesungguhnya mereka tidak tahu.”[7]

Imam Ibnul Qayyim menjelaskan:

Perhatikan dan renungkanlah, bagaimana beliau menggabungkan empat kebaikan dalam ucapan ini: Pertama, memaafkan mereka. Kedua, memintakan ampunan untuk mereka. Ketiga, memberikan udzur kepada mereka, bahwa mereka tidak tahu. Keempat, menyandarkan mereka kepada diri beliau dengan mengatakan, “kaumku”.[8]

Dari sini kita tahu, bahwa cara mudah memaafkan orang lain. Ternyata tidak cukup dengan memaafkan saja. Tapi dengan cara memberikan tempat kepada mereka yang bersalah di hati kita dengan mengatakan, dia  adalah “ayahku“, “ibuku“, anakku“, “suamiku“, “istriku“, kakakku“, “adikku“, “sahabatku“, dst. Lantas kemudian mintakan ampunan kepada Allah dengan menyebutkan udzur mereka.

Anggaplah jika memang ibu sendiri menyakiti kita, maka maafkanlah katakan: “Ya Allah, ampunilah ibuku karena ia sungguh tidak tahu.” Jika itu adalah saudara maka maafkanlah dan katakan: “Ya Allah, ampunilah kakak/adikku, karena ia benar-benar tidak tahu.”

Begitu seterusnya. Jangan biarkan setan terus membesarkan luka hati. Jangan biarkan ia menebar pupuk kebencian. Hilangkanlah dengan maaf dan segera lupakan yang terjadi, biarkan tenggelam bersama tenggelamnya mentari.

Buka Lembaran Baru

Kesalahan itu ibarat halaman kosong yang tiba-tiba ada yang mencoretnya dengan keliru. Kita bisa memaafkannya dengan menghapus tulisan tersebut, baik dengan penghapus biasa, penghapus canggih, atau dengan apa pun. Akan tetapi, tetap akan tersisa bekasnya dan tidak akan hilang.

Agar semua benar-benar bersih, hanya ada satu jalan keluarnya; “Bukalah lembaran kertas baru yang benar-benar kosong.”

Buka lembaran baru, tutup lembaran yang pernah tercoret. Jangan diungkit-ungkit lagi. Jangan ada lagi kata tapi, tapi dan tapi. Tutup lembaran yang tidak menyenangkan itu.

Memang tidak mudah melakukannya, butuh waktu dan kesungguhan. Tapi kalau tidak sekarang kita mulai, kapan lagi? Bertahun-tahun kita berkutat membolak-balik halaman yang tercoret itu hingga tidak pernah maju.

Mulailah hari ini untuk melupakan semuanya. Biarkan kenangan itu pergi, tengelam bersama mentari. Curahkanlah segenap kesungguhan. Yakin dan percaya bahwa Allah akan memberikan jalan. Allah berfirman:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ 

“Dan orang-orang yang berjihad (bersungguh-sungguh) untuk mencari keridaan Kami maka akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Ankabut: 69)

Ramadhan Momentum Tepat Belajar Memaafkan

Pahamilah, bahwa sebenarnya saat kita memutuskan memaafkan seseorang, itu bukan persoalan apakah orang itu salah dan kita benar. Apakah orang itu jahat atau aniaya. Akan tetapi, kita memutuskan memaafkan seseorang karena kita berhak atas kedamaian di dalam hati. Dengan kedamaian hati itulah kita hidup bahagia, sesuatu yang selama ini kita cari.

Maafkanlah, sebab hanya dengan itu kita bisa merengkuh kedamaian. Memang memaafkan tidak selalu serta merta menghilangkan luka. Akan tetapi setidaknya kita telah mengosongkan hati dari beban belenggu dendam dan kemarahan yang banyak menghabiskan energi kita.

Ramadan adalah cahaya yang menerangi gelapnya hati. Lapar yang kita rasakan bukan sekadar menahan haus dan dahaga, tetapi latihan menyucikan jiwa dari amarah dan dendam. Setiap detik dalam puasa mengajarkan bahwa bukan hanya perut yang harus dikendalikan, tetapi juga hati yang harus dibersihkan.

Puasa juga tak sekadar hubungan vertikal antara kita dengan Allah. Ia juga tentang bagaimana kita berinteraksi dengan sesama. Sebab, apalah arti ibadah yang khusyuk jika hati masih menyimpan dendam? Apa makna sujud yang panjang jika kita enggan memaafkan?

Memaafkan adalah obat bagi luka batin. Ia memang tidak menghapus masa lalu, tetapi ia membebaskan kita dari belenggunya. Sebab, dendam adalah beban yang hanya menyakiti diri sendiri, sementara maaf adalah sayap yang menerbangkan kita menuju ketenangan.

Maka, bulan suci ini merupakan momentum untuk membersihkan jiwa dan menyembuhkan luka dengan memaafkan. Mari kita lepaskan beban amarah, kita buka lembaran baru, dan kita reguk indahnya kedamaian.

 

Disusun oleh:

Zahir Al Minangkabawi

Jum’at, 14 Ramadhan 1446H – Jatimurni, Bekasi

________________________________

[1] At-Tahrir wa At-Tanwir

[2] Al- Adab Asy-Syar’iyyah: 1/71

[3] Nadhratu An-Na’im fi Makarim Akhlak Ar-Rasul Al-Karim: 7/2889

[4] Abul Baqa’ Ayyub bin Musa, salah satu ulama Hanafi wafat tahun 1094H

[5] Al-Kulliyat: 53, Nadhratu An-Na’im: 7/2890

[6] Ar-Rahiq Al-Makhtum: 389

[7] HR. Bukhari: 3477, Muslim: 1792

[8] Bada’iul Fawa’id: 1/773 cet. Darul Alam Fawa’id

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Back to top button
0
    0
    Your Cart
    Your cart is emptyReturn to Shop
    WhatsApp Yuk Gabung !