Jagalah Anakmu Dari Api Neraka

Anak lahir dalam keadaan fitrah

Tatkala Allah Subhanahu wata’ala memberi karunia manusia berupa anak, setiap anak yang lahir, dia dalam keadaan fitrah, dalam keadaan Islam, tidak berdosa, tidak berbuat syirik, bid’ah, dan tidak bermaksiat. Seandainya dia meninggal dunia, insya Allah dia masuk surga. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mengatakan,

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap anak dilahirkan di atas fitrahnya, ibu bapaknyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari: 1385)

Ketika Lajnah Da’imah Saudi Arabia ditanya, mungkinkah anak kecil yang berumur satu tahun meninggal dunia bisa memberi syafaat kepada kedua orang tua, kakek, serta neneknya? Jawabnya,
“Allah Subhanahu wata’ala akan memperkenankan syafaatnya kepada kedua orang tuanya. Mengenai syafaatnya terhadap kakek dan neneknya, hanya Allah saja yang Maha tahu.” (Fatawa Lajnah Da’imah: 3/343)

Begitu indahnya jika orang tua mukmin diuji dengan meninggal anaknya yang masih kecil, dan ia bersabar atas musibah yang menimpa. In syaa Allah anak akan memintakan syafaat untuk orang tuanya yang ahli tauhid.

Anak adalah amanah dan titipan

Tatkala orang tua mendapatkan karunia berupa buah hati, bukan berarti hanya begitu saja orang tua bebas memperlakukannya atau menelantarkannya. Tetapi anak adalah amanah di pundak kedua orang tuanya, dan mereka berdua akan dimintai pertanggung jawabannya pada hari kiamat. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa diberi amanah oleh Allah untuk memimpin lalu ia mati (sedangkan pada) hari kematiannya dalam keadaan mengkhianati amanahnya itu, niscaya Allah mengharamkan surga bagiannya.” (HR. Muslim: 4834)

Dengan demikian orang tua harus berjuang mempertahankan fitrah anaknya jika anaknya masih hidup, agar anak tetap menjadi anak yang bertauhid, beramal shalih, sehingga kelak bila orang tua sudah meninggal dunia, ia masih bisa mendapat pahala karena anaknya yang beramal shalih. Karena itu juga termasuk jerih payah orang tua. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga: Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat sesudahnya, atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim: 4310)

Sudahkah orang tua menunaikan hak anaknya?

Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah berkata, “Anak memiliki banyak hak dari orang tuanya, yang terpenting adalah tarbiyah (pendidikan). Yaitu menanamkan agama dan akhlak dalam diri mereka, sehingga mereka memiliki (pendidikan) agama serta akhlak yang baik.

Dengan memberi mereka pendidikan Islam dan akhlak mulia, membuat kedua orang tuanya terbebas dari tanggung jawab tersebut, sedang anak-anaknya menjadi keturunan yang shalih. Sehingga mereka menjadi buah hati kedua orang tuanya di dunia dan akhirat. Allah Azza wajalla berfirman:

وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dia kerjakan. (QS. ath-Thūr: 21)

Kedua orang tuanya juga berkewajiban atas sandang pangannya, seperti makanan dan minuman serta pakaian. Mereka juga wajib memperhatikan kebutuhan rohaninya, berupa ilmu dan iman, serta mengenakan untuknya pakaian takwa. Itulah yang terbaik.” (Huquq Da’at Ilaiha Fithrah: hlm. 14-16)

Setan menjerumuskan anak ke neraka

Setan adalah musuh utama bapak kita, Nabi Adam Alaihissalam dan istrinya Hawa, dia senantiasa berjuang untuk menyesatkan keturunan mereka.

Sejak kapan anak kita digoda oleh setan? Ternyata sejak anak kita baru lahir. Yaitu ketika ia menjerit ketakutan karena setan menusuknya. Tetapi orang tua bergembira, tidak mengerti ketakutan bayinya. Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada seorang anak pun yang lahir melainkan setan menusuknya hingga menjeritlah si anak akibat tusukan setan itu, kecuali putra Maryam (Isa) dan ibunya (Maryam).”

Kemudian Abu Hurairah berkata, “Bacalah bila kalian mau (ayat yang berbunyi):

وَإِنِّى أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Dan aku meminta perlindungan untuknya kepada-Mu dan juga untuk anak keturunannya dari setan yang terkutuk. (QS. Ali ‘Imran: 36)” (HR. Muslim: 6282)

Anak kecil belum mengenal dunia sedikit pun, namun setan sudah menyatakan permusuhan dengan menusuknya. Lalu bagaimana keadaan si anak jika ia telah dapat berbicara dan merasakan segala sesuatu? Bagaimana keadaannya jika mulai bergerak syahwatnya untuk mencari dunia atau selainnya? Maka penyesatan dan upaya penyimpangan yang dilakukan setan ini harus dihalangi. Karena itulah syari’at datang untuk melindungi manusia sejak mudanya. Bahkan sejak lahir ke dunia ini hingga nanti menemui Rabbnya.

Bahkan, Iblis berusaha menyesatkan manusia pada saat manusia berupa mani, ketika sang suami mendatangi istrinya. Oleh karena itu, termasuk upaya penjagaan anak, hendaknya ketika suami mendatangi istrinya berlindung kepada Allah Azza wajalla dengan doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam,

بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

‘Dengan nama Allah, Ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau rezekikan kepada kami.’
Maka bila Allah tetapkan lahirnya anak dari hubungan keduanya itu, setan tidak akan bisa membahayakannya selamanya.” (HR. Bukhari: 141)

Bagaimana cara menjaga anak dari api neraka?

Setelah orang tua mengerti bahwa anak digoda oleh setan, maka bagaimana upaya orang tua agar anak jauh dari godaan setan sehingga anak tidak masuk neraka. Orang Islam bukan hanya berkewajiban menjaga dirinya dari adzab neraka, tetapi juga menjaga keluarganya seperti istri dan anak-anaknya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ قُوۤا۟ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِیكُمۡ نَارࣰا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ

Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka, yang bahan bakarnya dari manusia dan batu. (QS. at-Tahrim: 6)

Orang tua hendaknya membekali dirinya dan keluarganya dengan ilmu agama yang cukup, agar dia bisa mengamalkan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Inilah kunci keselamatan manusia dari api neraka.

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di Rahimahullah menjelaskan ayat ini, “Wahai orang-orang yang dikaruniai oleh Allah keimanan, maka sifat orang yang beriman senantiasa melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya serta segera bertaubat dari hal yang membuat marah Allah dan menyebabkan dia masuk neraka, juga mendidik anak-anaknya, mengajari mereka dengan syariat Islam, dan dilatih agar melaksanakan perintah Allah. Sebab tidaklah manusia akan selamat dari siksaan Allah melainkan dengan melaksanakan perintah Allah bagi dirinya dan menyuruh orang yang menjadi tanggungannya, seperti istri dan anak-anaknya.” (Taisir al-Karimir Rahman: 1/ 874)

Demikian juga anak, hendaknya diajari agar berbuat baik kepada orang tua, tidak durhaka atau melawannya, tetapi harus lemah lembut dan tawadhu’. Karena durhaka kepada orang tua adalah dosa besar yang mengakibatkan masuk neraka. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ الْعَاقُّ وَالِدَيْهِ وَالدَّيُّوثُ وَرَجُلَةُ النِّسَاءِ

“Ada tiga golongan yang tidak akan masuk surga; yakni anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya, dan kepala rumah tangga yang membiarkan adanya kejelekan (kemungkaran) dalam rumah tangganya, serta perempuan yang menyerupai laki-laki.” (HR. al-Baihaqi: 21555 dengan sanad yang shahih)

Maka, jangan sampai kita selaku orang tua, membiarkan anak kita menjadi terlantar agama dan akhlaknya, yang akhirnya kita juga ikut terkena musibah di dunia dan akhirat. Karena pada umumnya, orang tua hanya mengurusi urusan fisik anaknya saja, seperti memperhatikan kesehatan badannya dan kebutuhan pokok bagi tumbuh kembang fisiknya. Sedangkan kebutuhan rohani anak (inilah sebenarnya yang paling pokok), tidak diperhatikan.

Yang mengherankan, adanya sebagian di antara mereka bersusah payah menjaga harta bendanya dan mengembangkannya sedemikian rupa, mengusahakannya hingga larut malam, padahal maslahat dari upaya tersebut pada umumnya hanya untuk perkara duniawi semata. Sementara untuk anak- anaknya, tidak mereka perhatikan sama sekali. Padahal memperhatikan mereka jauh lebih utama dan lebih bermanfaat di dunia dan akhirat kita, sebagai orang tua.

Semoga kita menjadi orang tua yang perhatian kepada diri kita sendiri dan keluarga, dan semoga Allah Subhanahu wata’ala senantiasa memberi taufik dan hidayah-Nya menuju jalan yang benar. Wallahu a’lam…

Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc

Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc adalah mudir Ma'had Al-Furqon Al-Islami Srowo, Sidayu, Gresik, Jawa Timur. Beliau juga merupakan penasihat sekaligus penulis di Majalah Al-Furqon dan Al-Mawaddah

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !