Perdamaian Adalah Lebih Baik – Kaidah Qur’an 6
Kaidah Qur’an kali ini membahas Perdamaian Adalah Lebih Baik
Allah berfirman:
وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
dan perdamaian itu lebih baik (QS. An-Nisa’: 128)
Kita semua memaklumi bahwa manusia tidak dapat hidup sendirian. Allah telah menakdirkan manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan satu dengan yang lain. Bahkan, syariat Islam melarang umatnya untuk hidup menyendiri.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, ath-Thabrani dan yang lainnya, dari Abu Umamah ia mengisahkan: “Suatu hari kami menyertai Rasulullah dalam salah satu perperangannya. Di tengah perjalanan, ada seorang sahabat yang melintasi sebuah gua yang memiliki mata air. Terbetik dalam hatinya sebuah rencana untuk menetap di gua itu, mencukupkan diri dengan minum dari mata air dan makan dari sayur-mayur yang tumbuh di sekitar gua tersebut, sehingga ia dapat menjauhi hingar-bingarnya kehidupan dunia.
Selanjutnya sahabat itu berpikiran, alangkah baiknya bila aku terlebih dahulu menemui Nabi guna menyampaikan maksudku ini. Bila beliau mengizinkan maka aku akan melanjutkan rencanaku ini dan bila tidak maka aku pun akan mengurungkannya. Ia pun segera menemui Rasulullah dan bertanya:
يَا نَبِيَّ اللهِ، إِنِّي مَرَرْتُ بِغَارٍ فِيهِ مَا يَقُوتُنِي مِنَ الْمَاءِ وَالْبَقْلِ، فَحَدَّثَتْنِي نَفْسِي بِأَنْ أُقِيمَ فِيهِ وَأَتَخَلَّى مِنَ الدُّنْيَا
‘Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku baru saja melintasi sebuah gua yang memiliki mata air dan sayur-mayur. Terbetik di benakku untuk tinggal di sana sehingga dengan demikian aku dapat meninggalkan urusan dunia.’ Lantas Rasulullah bersabda:
إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ بِالْيَهُودِيَّةِ وَلَا بِالنَّصْرَانِيَّةِ، وَلَكِنِّي بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ
‘Sesungguhnya aku tidak diutus dengan agama Yahudi atau Nasrani. Akan tetapi, aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan lapang.’” (HR. Ahmad: 5/266, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir: 7/243 dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah: 6/423)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan sebab mengapa beliau tidak mengizinkan umatnya hidup seorang diri jauh dari saudara-saudaranya:
فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ
“Sesungguhnya setan itu bersama orang yang meyendiri, dan ia lebih jauh dari dua orang.” (HR. Tirmidzi: 2165, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah 1/717)
Dalam hidup bersosial, pertengkaran dan pertikaian adalah sebuah hal yang tidak akan mungkin bisa dihindarkan. Kita tidak bisa menghilangkan pertikaian, namun kita bisa menyelesaikannya dengan cara yang baik. Dalam Islam pertikaian dapat diselesaikan dengan putusan hakim, akan tetapi sebelum itu dan sekaligus jalan yang paling baik adalah dengan Sulh (damai). Sulh akan membuat kedua belah pihak ridha menerima dan bisa salaing memaafkan. Berbeda dengan putusan hakim yang pasti menimbulkan ketidakpuasan serta bisa jadi sakit hati kepada salah satu pihak. Karenanya, syariat memerintahkan kita untuk berdamai.
Sebagaimana perdamaian itu dianjurkan, mendamaikan atau menjadi sebab damainya pihak yang bersengketa juga perbuatan yang sangat dianjurkan.
Contoh Praktek:
- Sulh Hudaibiyah
- Rasulullah mendamaikan penduduk Quba’
Dari Sahal bin Sa’ad radhiallahu’anhu
أَنَّ أَهْلَ قُبَاءٍ اقْتَتَلُوا حَتَّى تَرَامَوْا بِالْحِجَارَةِ فَأُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ فَقَالَ اذْهَبُوا بِنَا نُصْلِحُ بَيْنَهُمْ
bahwa penduduk Quba’ telah bertikai hingga saling melempar dengan batu, lalu Rasulullah ﷺ dikabarkan tentang peristiwa itu, maka beliau bersabda, “Mari kalian pergi bersama kami untuk mendamaikan mereka”. (HR. Bukhari: 2693)
- Ibnu Abbas berdialog dengan kaum Khawarij
Lihat:
Arsip Pembahasan Kaidah Qur’an
Selesai disusun di Komplek Pondok Jatimurni Bekasi
Follow fanpage maribaraja KLIK
Instagram @maribarajacom