Salafus Shalih di Ramadhan – Menanti & Bahagia Dengan Kedatangan Bulan Ramadhan
Menunggu kedatangan bulan Ramadhan dan berharap dapat berjumpa dengannya adalah salah satu potret Salafus Shalih. Bahkan, mereka telah menunggu bulan ini berbulanbulan jauh sebelum kedatangannya. Ma’la bin al-Fadhl menuturkan:
كَانُوْا يَدْعُوْنَ اللهَ تَعَالَى سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ رَمَضَانَ يَدْعُوْنَهُ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَ مِنْهُمْ
“Mereka (salafus shalih) berdo’a kepada Allah selama enam bulan semoga Allah menyampaikan mereka pada bulan Ramadhan, lalu mereka berdo’a selama enam bulan berikutnya semoga amalan mereka di bulan itu diterima.”
Yahya bin Abi Katsir juga pernah berkata:
كَانَ مِنْ دُعَائِهِمْ: اللَّهُمَّ سَلِّمْنِي إِلَى رَمَضَانَ وَسَلِّم لِي رَمَضَان وَتَسْلِمهُ مِنِّي مُتَقَبَّلًا
“Di antara do’a mereka (salaf shalih): ‘Ya Allah, selamatkanlah aku hingga Ramadhan, serahkanlah (berilah) Ramadhan kepadaku, dan terimalah amalanku di bulan itu.’”[1]
Ketika bulan itu datang, maka mereka betul-betul sangat gembira. Rasulullah sebagai Salafus Shalih yang terdepan, sangat bergembira dengan kedatangan bulan Ramadhan serta memberikan kabar gembira kepada para sahabat beliau. Dari Abu Hurairah a, bahwasanya Rasulullah memberikan kabar gembira kepada sahabat-sahabatnya dengan sabdanya:
قَدْ جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ يُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَيُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ
“Sungguh telah datang kepada kalian bulan Ra-madhan, bulan yang penuh berkah. Allah mewajibkan puasa atas kalian. Pada bulan ini, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu. Pada bulan ini juga, ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barang siapa terhalangi dari kebaikannya maka sungguh ia terhalangi untuk mendapatkannya.”[2]
Oleh karena itulah, salah satu sunnah ketika datang bulan Ramadhan adalah bergembira se-kaligus memberikan kabar gembira pada orang lain atas kedatangannya. Imam Ibnu Rajab v menjelaskan:
“Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits ini adalah dalil bolehnya mengucapkan selamat an-tara sebagian manusia kepada yang lain berhu-bungan dengan datangnya bulan Ramadhan. Ba-gaimana mungkin seorang mukmin tidak gembi-ra dengan dibukanya pintu surga?! Bagaimana tidak bergembira orang yang berdosa dengan di-tutupnya pintu neraka?! Bagaimana mungkin se-orang yang berakal tidak gembira dengan waktu yang setan dibelenggu pada saat itu, waktu mana yang menyerupai waktu saat itu?!”[3]
Kita hari ini, mungkin menunggu dan berba-hagia pula dengan Ramadhan. Namun, apakah kiranya yang medorong kebahagian kita itu? Ka-rena banyak sekali motivasi yang menjadikan orang-orang menanti dan bahagia dengan Rama-dhan. Anak-anak sekolah bahagia karena mereka tahu di Ramadhan libur panjang, sehingga tidak belajar, tidak ada tugas dan PR lagi. Para pegawai, sangat menantikan karena mereka tahu ada THR. Para perantau juga menunggu dan bahagia, ka-rena mereka sudah berniat untuk mudik ber-sama menuju kampung halaman dan keluarga tercinta di akhir bulan Ramadhan nanti. Para pedagang terutama kuliner dan pakaian tidak akan ketinggalan, bahkan mereka mengharap-kan kalau bisa semua bulan selama setahun itu, bulan Ramadhan. Sebab, omset di bulan itu sangat menjajikan. Terlebih sepuluh akhir, bisa berlipat ganda dari bulan-bulan biasa.
Berkaca dari Salafus Salih, apakah hal di atas yang membuat mereka menanti dan berbahagia dengan Ramdahan? Tentu tidak. Harus kita akui, mereka jauh lebih paham terhadap hakikat bu-lan Ramadhan daripada kita semua. Mereka tahu keutamaan besar bulan itu, hafal dan mengerti sabda-sabda Nabi n berkenaan dengannya. Me-reka ingat betul bahwa Nabi n pernah bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang puasa Ramadhan dengan pe-nuh keimanan dan mengharap pahala maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.”[4]
Mereka pun tahu bahwa di bulan itu ada malam istimewa yaitu Lailatul Qadr yang dikenal sebagai malam terbaik dalam cerita kehidupan. Nilainya lebih utama dari seribu bulan. Selalu di-nanti kehadirannya. Nabi n bersabda:
إِنَّ هَذَا الشَّهْرَ قَدْ حَضَرَكُمْ وَفِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَهَا فَقَدْ حُرِمَ الْخَيْر كُلُّهُ
“Sesungguhnya bulan ini telah datang, di dalamnya terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barang siapa yang diharamkan (dihalangi) dari malam itu maka sungguh ia telah diha-ramkan dari kebaikan semuanya.”[5]
Di bulan ini juga, pahala amal kebajikan dilipatgandakan. Persis seperti omset para pedagang. Hanya saja ini bukan perdagangan dunia tetapi perdagangan akhirat. Bahkan nilai kelipatannya hanya Allah saja yang mengetahuinya. Cobalah baca kembali hadits tentang kegembiraan Rasulullah n ketika datang bulan Ramadhan di atas, kita akan melihat bahwa sebab kebagian beliau adalah karena hal-hal akhirat ini.
Oleh sebab itu, mari menata niat kembali. Me-napaki jejak Salaf Shalih dalam menanti dan menyambut bulan suci ini. Kebahagiaan kita berjumpa dengan Ramadhan bukan semata-mata karena libur panjang, baju baru, ramai-ramai lebaran, mudik bareng, omset besar atau THR. Tidak. Tetapi karena ia memiliki keutamaan dan membuka kesempatan untuk memperbaiki diri bagi kita hamba yang lemah dan banyak dosa ini.
Jangan biarkan ia berlalu begitu saja. Sambut dan manfaatkanlah kesempatan ini dengan bersungguh-sungguh dalam beribadah. Jangan sampai shalat tarawih atau ibadah lainnya justru luput karena sibuk menunggui loyang-loyang bolu dalam oven atau sibuk dengan persiapan mudik, dan seterusnya. Marilah menjadi para pedagang akhirat. Tawarannya sudah dibuka dengan harga yang luar biasa.
Baca juga Artikel
Ramadhan Mubarak
Follow fanpage maribaraja KLIK
Instagram @maribarajacom
Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja atau dapatkan broadcast artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda di admin berikut KLIK
_____________________________________
[1] Lathaif al-Ma’arif: 1/148, cet. Dar Ibnu Hazm
[2] HR. Ahmad: 12/59
[3] Lathaiful Ma’arif: hal.279
[4] HR. Bukhari: 38 Muslim: 760
[5] HR. Ibnu Majah: 1644 dinilai Hasan Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah 4/144