Ushulus Sunnah Imam Ahmad – #1 Biografi Singkat Imam Ahmad
Pada bagian ini kita akan memaparkan sedikit tentang biografi singkat Imam Ahmad, salah satu imam besar Ahlussunnah wal Jama’ah
Nama dan Nasab Imam Ahmad
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hay-yan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa’labah bin Ukabah bin Sha’b bin Ali bin Bakar bin Wa’il bin Qasith bin Hinb bin Afsha bin Du’miy bin Judailah bin Asad bin Rabi’ah bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan.
Nasab ini memiliki keutamaan dari dua sisi, yaitu: Pertama, nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada Nizar. Kedua, beliau adalah orang arab yang shahih nasabnya.
Beliau dilahirkan di Baghdad pada Rabiul Awal 164 H. Ayah beliau adalah seorang wali (penguasa) Sarkhas yang merupakan salah satu wilayah kekuasan Abbasiyah dan meninggal tahun 179 H di usia 30 tahun. Sehingga Imam Ahmad semenjak usia 15 tahun tinggal dan tumbuh di bawah asuhan ibunya.
Guru-guru Imam Ahmad
Imam Ahmad semenjak berumur 16 tahun telah berkelana ke berbagai penjuru negeri untuk menuntut ilmu dan mencari hadits mulai dari Kufah, Bashrah, Hijaz, Makkah, Madinah, Yaman, Syam, Maghrib, Al-Jazair, negeri Persia, Khurasan, dll, sehingga beliau memiliki banyak guru.
Al-Khatib mengatakan: “Dia mendengar (mengambil ilmu) dari Ismail bin Ulayyah, Husyaim bin Basyir, Hammad bin Khalid Al-Khayyath, Manshur bin Salamah Al-Khaza’i, Al-Mu–zhaffar bin Mudrik, Utsman bin Umar bin Faris, Abu An-Nadhr Hasyim bin Al-Qasim, Abu Sa’id maula Bani Hasyim, Muhammad bin Yazid Al-Wasithi, Yazid bin Harun Al-Washiti, Muhammad bin Abu Adi, Muhammad bin Ja’far Ghundar, Yahya bin Sa’id Al-Qahthan, Abdurahman bin Mahdi, Bisyr bin Al-Mufadhdhal, Muhammad bin Bakar Al-Barsani, Abu Da–wud Ath-Thayalisi, Rauh bin Ubadah, Waki’ bin Al-Jarrah, Abu Mu’awiyah Adh-Dharir, Abdullah bin Numair, Abu Usamah, Sufyan bin Uyainah, Yahya bin Sulaim Ath-Tha’ifi, Muham–mad bin Idris Asy-Syafi’i, Ibrahim bin Sa’d Az-Zuhri, Abdur–razaq bin Hammam, Abu Qurrah Musa bin Thariq, dll.”[1]
Imam Al-Mizzi menyebutkan dalam kitab Tahzib-nya[2] sebanyak 104 guru Imam Ahmad. Namun itu juga bukan untuk menyebutkan secara keseluruhan.
Murid-murid Imam Ahmad
Al-Khatib mengatakan: “Sedangkan yang meriwayatkan (mengambil ilmu) dari Imam Ahmad lebih dari satu orang dari kalangan guru-guru beliau yang telah kami sebutkan nama mereka. Meriwayakan pula dari beliau kedua anak beliau; Shalih dan Abdullah, anak paman beliau; Hanbal bin Ishaq, dan al-Hasan bin ash-Shalih al-Bazzar, Muhammad bin Ishaq ash-Shaghani, Abbas bin Muhammad ad-Duri, Muham-mad bin Ubaidullah al-Munadi, Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Muslim bin al-Hajjaj an-Naisaburi, Abu Zur’ah ar-Razi dan Abu Hatim ar-Razi, Abu Dawud as-Sijistani, Abu Bakar al-‘Atsram, Abu Bakar al-Marwazi, Ya’qub bin Abi Syaibah, Ahmad bin Abi Khaitsamah, Abu Zur’ah ad-Dimasyqi, Ibrahim al-Harbi, Musa bin Harun, Abdullah bin Muhammad al-Baghawi, dll.”
Imam Al-Mizzi juga menyebutkan dalam Tahdzib-nya sebanyak 88 orang dari murid-murid beliau dan ada sejumlah orang dari kalangan gurunya, di antara mereka Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Waki’ al-Jarrah, Yahya bin Adam, Yazid bin Harun. Sementara dari kalangan sahabat sejawat beliau yaitu: Ali bin al-Madini, Yahya bin Ma’in, Duhaim asy-Syami, Ahmad bin Abu al-Hawari, Ahmad bin Shalih al-Mishri.[3]
Sanjungan Ulama Terhadap Imam Ahmad
Imam Ahmad mendapat banyak sanjungan para ulama. Al-Khatib meriwayatkan dengan sanadnya dari Ali bin al-Madini, ia berkata:
إِنَّ اللهَ أَعَزَّ هَذَا الدِّينَ بِرَجُلَيْنِ لَيْسَ لَهُمَا ثَالِثٌ ؛ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ يَوْمَ الرِّدَّةِ وَأَحْمَدُ بنُ حَنْبَل يَوَمَ المِحْنَةِ
“Sesungguhnya Allah telah memuliakan agama ini dengan dua orang, tiada yang ketiga, yaitu Abu Bakar pada saat terjadi Riddah (kemurtadan) dan Ahmad bin Hanbal pada saat terjadi Mihnah (ujian ucapan Al-Qur’an makhluk).” [4]
Imam Al-Muzani mengatakan:
قَالَ لِي الشَّافِعِي : رَأَيْتُ بِبَغْدَادَ شَابًا إِذَا قَالَ: حَدَّثَنَا ، قَالَ النَّاسُ كُلُّهُمْ : صَدَقَ ، قُلْتُ: مَنْ هُوَ؟ قَالَ : أَحْمَدُ بنُ حَنْبَل
“Asy-Syafi’i berkata kepadaku, ’Aku telah melihat seorang pemuda di Baghdad yang apabila ia berkata ‘Telah menga-barkan kepada kami…(sebuah hadits)’ maka semua manusia akan mengatakan ‘Dia benar.’ Aku (al-Muzani) berkata, ‘Siapa dia?’ Asy-Syafi’i menjawab, ‘Ahmad bin Hanbal.’”[5]
Imam Ibnu Khuzaimah v mengatakan, “Aku pernah mendengar Muhammad bin Sahtuwaih, aku mendengar Abu Umair bin an-Nahhas ar-Ramli, saat disebutkan nama Ahmad bin Hanbal mengatakan:
عَنِ الدُّنْيَا مَا كَانَ أَصْبَرَهُ ، وَبِالمَاضِيْنَ مَا كَانَ أَشْبَهَهُ ، وَبِالصَّالِحِيْنَ مَا كَانَ أَلْحَقَهُ ، عُرِضَتْ لَهُ الدُّنْيَا فَأَبَاهَا ، وَالبِدَعُ فَنَفَاهَا
‘Betapa bersabarnya ia terhadap dunia, dan betapa miripnya ia dengan orang-orang masa lalu dan betapa pantasnya ia diikutkan dengan orang-orang shalih. Dunia ditawarkan ke-padanya tapi ia menolaknya dan bid’ah datang kepadanya maka ia pun melenyapkannya.’”[6]
Ujian Imam Ahmad
Sebagaimana pohon yang tinggi menjulang pasti merasakan terpaan angin yang lebih kencang maka demikian pula dengan Imam Ahmad. Beliau telah mengalami ujian berat. Hidup di zaman empat khalifah yang berbeda, beliau pun harus melalui ujian dalam bentuk yang berbe-da pula.
Imam Ahmad telah mengalami ujian dari empat khalifah; al-Ma’mun, al-Mu’tashim, al-Watsiq, dan al-Mutawakkil. Sebelum itu panji Ahlussunnah berkibar ditengah-tengah umat hingga masa Khalifah Harun ar-Rasyid. Dulu ahli bid’ah menyembunyikan kebid’ahan mereka dan tidak berani menunjukkan kebatilan mereka secara terang-terangan, hingga al-Ma’mun bin Harun ar-Rasyid cenderung kepada pendapat kaum Mu’tazilah dan berusaha memaksa ulama dan para qadhi untuk berpendapat dengan madzhab mereka yang busuk yaitu mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk.
Banyak di antara ulama dan qadhi itu akhirnya me-menuhi seruan tersebut namun dalam bentuk taqiyyah (pura-pura). Ada pula di antara mereka yang dibunuh dalam ujian tersebut. Sementara Imam Ahmad memiliki pendirian yang tidak akan sanggup dilakukan kecuali oleh seorang nabi. Ia bersikap teguh bagaikan gunung yang kokoh, yang membuat berbagai ujian patah di hadapannya dan berbagai fitnah takluk di bawah telapak kakinya.
Ketika al-Ma’mun meninggal dunia, al-Mu’tashim mengikutinya; ia lalu mencambuk Sang Imam dan memenjarakannya selama 28 bulan agar menjadi lemah. Imam Ahmad memiliki kedudukan di hati kaum muslimin. Jika ia menyimpang dari kebenaran maka dengan ketergelin-cirannya itu niscaya akan banyak orang dengan jumlah yang tidak terhitung akan tergelincir pula.
Namun, Allah telah menyiapkan untuk Imam Ahmad sebab-sebab keteguhan. Di antaranya berupa ucapan-ucapan yang sangat membekas yang datang dari orang-orang yang dipilihkan oleh Allah. Sebagian dari mereka ada yang berkata, “Bila engkau mati di sini maka engkau masuk surga.” Sebagian yang lain mengatakan, “Jika engkau hidup, maka engkau akan hidup dalam keadaan terpuji, dan jika engkau mati maka engkau mati syahid.” Imam Ahmad pun akhirnya kukuh di atas kebenaran hingga al-Mu’tashim dan penganti setelahnya yaitu al-Watsiq mati. Kemudian terbitlah kekhilafahan Al-Mutawakkil, dan ia adalah seorang Ahlussunnah, sehingga menjulanglah kembali panji-panji sunnah dan terkikislah panji-panji bid’ah.
Allah telah membinasakan semua orang yang terlibat dalam fitnah itu. Akan tetapi, sang Imam tetap tidak selamat dari ujian di zaman al-Mutawakkil. Jika sebelumnya ujian berupa kesempitan, pengasingan, penyiksaan, dst. Sekarang adalah ujian jenis baru yaitu fitnah (ujian) dunia, fitnah harta, kedudukan, menemui penguasa. Al-Mutawakkil berusaha mencicipkan harta kepada sang Imam, tetapi Imam dan alim kita ini, yang tidak gentar terhadap cambukan dan siksaan, tidak pula tertarik dengan kemilau dunia dan kekuasaan. Di tengah ujian dunia yang kencang menerpa ini, beliau mengatakan:
أَسْلَمُ مِنْ هَؤَُلَاءِ سِتِّيْنَ سَنَةً ، ثُمَّ أُبْتَلَى بِهِمْ
“Aku selamat dari mereka selama 60 tahun, kemudian aku diuji dengan mereka.“
Beliau tidak menerima sedikit pun dari hal itu dan menjalani sisa usianya dengan berzuhud terhadap dunia, merindukan akhirat, sehingga beliau pun bertambah mulia dalam hati manusia.[7]
Wafatnya Imam Ahmad
Al-Marwazi mengatakan, “Abu Abdillah (Imam Ahmad) sakit pada malam Rabu, dua malam yang telah berlalu dari bulan Rabiul Awal. Ia sakit selama sembilan hari. Terkadang ia memberi izin kepada orang-orang untuk menjenguknya secara berombong-rombongan untuk mengucapkan salam kepadanya, ia menjawab salam mereka dengan mengisyaratkan tangannya. Sakitnya bertambah parah pada hari Kamis, dan aku mewudhukannya, ia berkata, ‘Selailah jari-jari.’ Ketika malam Jum’at dan sakitnya bertambah parah ia meninggal dunia. Maka orang-orang pun berteriak dan suara tangisan mengeras; seakan-akan dunia bergoncang, lalu gang dan jalanan penuh sesak dengan manusia.”
Abu Bakar al-Khallal mengatakan, aku mendengar Abdul Wahhab al-Warraq mengatakan:
مَا بَلَغَنَا أَنَّ جَمْعًا فِي الجَاهِلِيَّةِ وَالِإسْلَامِ مِثْلَهُ ، حَتَى بَلَغَنَا أَنَّ المَوْضِعَ مُسِحَ ، وَحُرِزَ عَلَى الصَحِيحِ ؛ فَإِذَا هُوَ نَحْنُ مِنْ أَلْفِ أَلْفٍ ، وَحَرَزْنَا عَلَى القُبُوْرِ نَحْوًا مِنْ سِتِّيْنَ أَلْفِ امْرَأَة
“Kami belum pernah mendengar ada banyak orang yang berkumpul baik di masa Jahiliyah maupun Islam dengan jumlah seperti itu, hingga kami mendapatkan kabar bahwa tempat itu diratakan dan dijaga dengan baik, ternyata kami berjumlah sekitar satu juta orang. Kami menjaga di sekitar kuburan sekitar 60 ribu wanita.”
Orang-orang membuka pintu-pintu rumah mereka yang berada di pinggir jalan seraya memanggil siapa saja yang hendak mau berwudhu.
Baca juga Artikel
Ushulus Sunnah Imam Ahmad
Follow fanpage maribaraja KLIK
Instagram @maribarajacom
Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja atau dapatkan broadcast artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda di admin berikut KLIK
_________________________________
[1] Tarikh Baghdad, al-Hafizh al-Khatib al-Baghdadi, 4/412,413
[2] Tahzib Al-Kamal: 1/347-440
[3] Lihat Tahzdib al-Kamal, 1/440-444, Tarikh al-Islam, Hawadits wa Wafayat milik adz-Dzahabi, 241-250
[4] Tarikh Baghdad: 4/508
[5] Siyar A’lam an-Nubala’: 11/195
[6] Siyar A’lam an-Nubala’: 11/198
[7] Min A’lam as-Salaf: 329-330