KITABUT TAUHID BAB 48 – Berolok-olok Dengan Allah, Al-Qur’an atau Rasulullah ﷺ
Firman Allah:
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ ، لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. (QS. At Taubah: 65-66)
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Muhammad bin Kaab, Zaid bin Aslam, dan Qatadah, suatu hadits dengan rangkuman sebagai berikut: “Bahwasanya ketika dalam peperangan tabuk, ada seseorang yang berkata: “Belum pernah kami melihat seperti para ahli membaca Alqur’an (qurra’) ini, orang yang lebih buncit perutnya, dan lebih dusta mulutnya, dan lebih pengecut dalam peperangan”, maksudnya adalah Rasulullah dan para sahabat yang ahli membaca Al Qur’an. Maka berkatalah Auf bin Malik kepadanya: “kau pendusta, kau munafik, aku beritahukan hal ini kepada Rasulullah”, lalu berangkatlah Auf bin Malik kepada Rasulullah untuk memberitahukan hal ini kepada beliau, akan tetapi sebelum ia sampa , telah turun wahyu kepada beliau.
Dan ketika orang itu datang kepada Rasulullah, beliau sudah beranjak dari tempatnya dan menaiki untanya, maka berkatalah ia kepada Rasulullah: “ya Rasulullah, sebenarnya kami hanya bersenda gurau dan mengobrol sebagaimana obrolan orang yang mengadakan perjalanan untuk menghilangkan penatnya perjalanan”, kata Ibnu Umar: “sepertinya aku melihat orang tadi berpegangan sabuk pelana unta Rasulullah, sedang kedua kakinya tersandung-sandung batu, sambil berkata : “kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”, kemudian Rasulullah bersabda kepadanya:
أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ
“Apakah dengan Allah, ayat-ayat -Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok.”
Rasulullah mengatakan seperti itu tanpa menoleh, dan tidak bersabda kepadanya lebih dari pada itu.
Kandungan bab ini:
1. Masalah yang sangat penting sekali, bahwa orang yang bersenda gurau dengan menyebut nama Allah, ayat ayat -Nya dan Rasul-Nya adalah kafir.
2. Ini adalah penafsiran dari ayat di atas, untuk orang yang melakukan perbuatan itu, siapapun dia.
3. Ada perbedaan yang sangat jelas antara menghasut dan setia Allah dan Rasul-Nya. [Dan melaporkan perbuatan orang-orang fasik kepada waliyul amr untuk mencegah mereka, tidaklah termasuk perbuatan menghasut tetapi termasuk kesetiaan kepada Allah dan kaum muslimin seluruhnya].
4. Ada perbedaan yang cukup jelas antara sikap memaafkan yang dicintai Allah dengan bersikap tegas terhadap musuh-musuh Allah.
5. Tidak setiap permintaan maaf dapat diterima. [Ada juga permintaan maaf yang harus ditolak].
=================================
Munasabah bab dengan Kitabut Tauhid
Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, di bab ini terdapat penjelasan berkaitan dengan hukum orang yang bersenda gurau dan berolok-olok dengan Allah, Al-Qur’an dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kufur, menafikan tauhid. (Al-Mulakhkhash fi Syarh Kitabit Tauhid: 348)
Pokok agama Islam adalah mengagungkan Allah
Salah satu pondasi dan asas dari agama Islam adalah dibangun di atas mengagungkan Allah dan syari’at-Nya. Allah berfirman:
وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. (QS. Al-Hajj: 32)
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata:
أصل الدين مبني على تعظيم الله تعالى وتعظيم دينه العظيم ورسله الكرام عليهم الصلاة والسلام، والاستهزاء بشيء من ذلك مناف لهذا الأصل ومناقض له أشد المناقضة
Pokok dari agama adalah mengagungkan Allah, agama dan para Rasul-Nya. Istihza’ dengan hal itu menafikan pokok ini dan sangat bertolak belakang. (Tafsir Taisir Al-Karim Ar-Rahman) lihat: http://iswy.co/e15kr7
Semua makhluk Allah yang ta’at mengagungkan Allah, dan semua syari’at adalah untuk mengagungkan-Nya, diantaranya:
– Semua makhluk bertasbih untuk mengagungkan Allah, firman-Nya:
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ ۚ وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَٰكِن لَّا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ ۗ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS. Al-Isra’: 44)
– Langit penuh dengan ibadah
Dari Abu Dzar Al-Ghifari, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنِّي أَرَى مَا لَا تَرَوْنَ وَأَسْمَعُ مَا لَا تَسْمَعُونَ أَطَّتْ السَّمَاءُ وَحُقَّ لَهَا أَنْ تَئِطَّ مَا فِيهَا مَوْضِعُ أَرْبَعِ أَصَابِعَ إِلَّا وَمَلَكٌ وَاضِعٌ جَبْهَتَهُ سَاجِدًا لِلَّهِ وَاللَّهِ لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا
“Sesungguhnya aku melihat yang tidak kalian lihat, mendengar yang tidak kalian dengar, langit merintih dan laik baginya merintih, tidaklah disana ada tempat untuk empat jari melainkan ada malaikat yang meletakkan dahinya seraya bersujud kepada Allah, andai kalian mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian jarang tertawa dan sering menangis. (HR. Tirmidzi: 2312)
– Nabi Isa menghormati sumpah karena Allah sebagai bentuk pengagungan kepada Allah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau besabda:
رَأَى عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَجُلًا يَسْرِقُ فَقَالَ لَهُ أَسَرَقْتَ قَالَ كَلَّا وَاللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَقَالَ عِيسَى آمَنْتُ بِاللَّهِ وَكَذَّبْتُ عَيْنِي
“Nabi ‘Isa ‘alaihis salam melihat ada seorang sedang mencuri lalu dia bertanya kepadanya: “Apakah kamu mencuri?”. Orang itu menjawab; “Tidak, demi Allah, yan tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia”. Maka ‘Isa berkata: “Aku beriman kepada Allah dan aku dustakan (penglihatan) mataku.” (HR. Bukhari: 3444, Muslim: 2368)
Rasulullah shallallaahu alahi wasallam bersabda:
لاَ تَحْلِفُوْا بِآبَائِكُمْ، مَنْ حَلَفَ بِاللهِ فَلْيَصْدُقْ, وَمَنْ حُلِفَ لَهُ بِاللهِ فَلْيَرْضَ، وَمَنْ لَمْ يَرْضَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ
“Janganlah kalian bersumpah dengan nama nenek moyang kalian! Barangsiapa yang bersumpah dengan nama Allah, maka hendaknya ia jujur, dan barangsiapa yang diberi sumpah dengan nama Allah maka hendaklah ia rela (menerimanya), barangsiapa yang tidak rela menerima sumpah tersebut maka lepaslah ia dari Allah.” (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang hasan)
Semua pembahasan di Kitabut Tauhid ini adalah dengan tujuan untuk mengagungkan Allah.
Makna Istihza’ dan patokannya
Imam Ghazali rahimahullah mengatakan
وَمَعْنَى السُّخْرِيَةِ: الِاسْتِهَانَةُ، وَالتَّحْقِيرُ، وَالتَّنْبِيهُ عَلَى الْعُيُوبِ وَالنَّقَائِضِ، عَلَى وَجْهٍ يُضْحَكُ مِنْهُ، وَقَدْ يَكُونُ ذَلِكَ بِالْمُحَاكَاةِ فِي الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ، وَقَدْ يَكُونُ بِالْإِشَارَةِ وَالْإِيمَاءِ
Makna Sukhriyyah (olok-olokan) adalah menghina, melecehkan, membongkar aib dan kekurangan dalam rangka untuk dijadikan bahan tertawaan. Dan hal itu dengan ucapan dan perbuatan serta isyarat. (Ihya Ulumu ad-Din: 3/131, Al-Istihza’: 78)
Patokan sesuatu dikatakan Istihza’ dikembalikan ke urf (adat kebiasaan) masyarakat setempat. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: “Patokannya dalam hal itu adalah segala sesuatu yang dikenal oleh orang-orang sebagai bentuk penghinaan maka itu adalah sebuah penghinaan. Dan terkadang hal ini berbeda kondisi, istilah, adat kebiasaan. (Ash-Sharimu Al-Maslul: 543, Al-Istihza’: 78)
Sebab Istihza’
a. Internal: Dendam, hasad, sombong, kemunafikan, kebodohan, lemah iman dan akal, tamak terhadap harta.
b. External: Fanatik buta, kerusakan aqidah masyarakat, lemahnya ulama dan penguasa, tidak adanya hukuman
Nama besar dan merasa memiliki kelebihan dari orang lain adalah salah satu sebab seorang itu mengolok-olok. Ia memiliki kedudukan, harta, kecerdasan sedangkan orang lain berada di bawahnya. Inilah yang kerap kali membuat manusia tidak mau menerima kebenaran. Padahal menolak kebenaran dan meremehkan orang lain inilah hakikat dari kesombongan. Allah berfirman tentang kaum Nabi Nuh:
فَقَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن قَوْمِهِ مَا نَرَاكَ إِلَّا بَشَرًا مِّثْلَنَا وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَىٰ لَكُمْ عَلَيْنَا مِن فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ
Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: “Kami tidak melihat kamu, melainkan sebagai seorang manusia biasa seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta”. (QS. Hud: 27)
Hukum Istihza’
Hukum istihza’ terbagi menjadi dua:
1. Kafir, termasuk pembatal keislaman. Yaitu apabila istihza’ dengan Allah, Al-Qur’an dan Rasul-Nya. Hal ini berdasarkan dalil langsung dari al-Qur’an, Allah berfirman:
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ ، لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. (QS. At Taubah: 65 – 66)
2. Fasik, yaitu istihza’ dengan pribadi orang lain atau perbuatan mereka yang hanya bersifat duniawi. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْراً مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْراً مِنْهُنّ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. (QS. Al-Hujurat: 11)
Apalagi jika yang diolok-olok itu adalah seorang muslim. Kehormatan seorang muslim memiliki kedudukan yang amat sangat penting dalam agama kita ini. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
سِبَابُ الْمُسْلِم فُسُوقٌ وَقِتالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang muslim adalah sebuah kefasikan dan membunuhnya adalah sebuah kekufuran.” (HR. Bukhari: 48, Muslim: 64)
Diantara contoh istihza’
– Seperti orang-orang Yahudi yang mengatakan Allah miskin, atau letih pada hari ketujuh ketika menciptakan langit dan bumi.
– Mengatakan orang yang berjenggot kambing, celana cingkrang kebanjiran dan cadar sebagai ninja.
– Biarlah kami seperti ini, kalau kami ikut anda nanti khawatir neraka sepi.
– Gambar karikatur seekor jantan yang diikuti oleh empat ekor ayam betina.
– Seperti kucing mati aja.
Hukum berolok-olok terhadap jenggot, celana cingkrang, cadar, dst
Pernah Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, Apakah orang yang Istihza’ dengan agama dengan mengolok-olok jenggot atau celana cingkrang dihukumi kafir? Beliau rahimahullah menjawab: “Ini hukumnya berbeda-beda; apabila maksudnya adalah istihza’ agama maka dia dihukumi murtad, sebagaimana firman Allah:
قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ ، لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. (QS. At-Taubah: 65-66)
Adapun jika dia mengolok-olok pribadi seorang dari sisi jenggot atau pakaian cingkrang, dan dia bermaksud dengan hal itu untuk menunjukkan bahwa orang tersebut adalah seorang puritan (kaku), bukan maksudnya mengolok-olok agama maka tidak sampai kafir.” (Diringkas dari: Fatawa Asy-Syaikh Ibn Baz: 28/365)
Jangan duduk bersama orang-orang yang sedang mengolok-olok agama
Haram untuk duduk bersama para pengolok agama, atau menyaksikan acara mereka. Allah berfirman:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ ۚ إِنَّكُمْ إِذًا مِّثْلُهُمْ
Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. (QS. an-nisa: 140)
“Tentu kamu serupa dengan mereka” itulah yang jadi benang merahnya. Menunjukkan hukumnya sama dengan kemaksiatan mereka, meski tidak melakukannya.
Oleh sebab itu, jika keadaan mereka sebagaimana yang disebutkan dalam ayat di atas, maka betapa pun hubungan kekerabatan, keramahan dan manisnya mulut mereka, kita dilarang untuk duduk bergabung dengan mereka. Kecuali bagi orang yang ingin mendakwahi mereka, membantah dan mengingkari mereka. Kalau tidak bisa seperti itu maka menyingkirlah dari mereka secepatnya.
Demikian juga dengan acara-acara yang menjadikan agama sebagai bahan untuk membuat orang tertawa, haram untuk menyaksikannya. Jika kita sengaja menyaksikan, kemudia ikut tertawa maka kita dihukumi sama dengan mereka.
Baca juga Artikel:
Referensi:
- Al-Istihza’ Biddin Ahkamuhu wa Atsaruhu, Ahmad bin Muhammad Al-Qurasyi, Dar Ibnul Jauzi
- Artikel Islamqa Hukmu al-Istihza’ Biddin wa Ahlihi
Selesai disusun di rumah mertua tercinta Jatimurni Bekasi, Jum’at 2 Rabi’ul Awwal 1441H/ 29 November 2019M
Follow fanpage maribaraja KLIK
Instagram @maribarajacom
Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja untuk dapatkan artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda di admin berikut KLIK
One Comment