Bolehkah Qadha Puasa Syawal di Bulan Dzul Qa’dah?

Soal: “Assalamu’alaikum ustadz. Mohon izin bertanya. Bagaimana caranya qadha puasa Syawal jika ada udzur sakit dan belum sempat melaksanakan enam hari puasa Syawal hingga keluar dari bulan Syawal. Syukron ustadz.” (Tatik di Tangerang, 0882-1429-7xxx)

Jawab:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Alhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala rasulillah amma ba’du.

Jika melihat zhahir hadits yang menyebutkan tentang pensyariatan puasa enam hari tersebut, jelas bahwa itu hendaknya dilakukan di bulan Syawal. Bunyi haditsnya yaitu:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian ia iringi dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka ia seperti puasa setahun penuh. (HR. Muslim: 1984)

Namun, mengenai qadha puasa Syawal di luar bulan Syawal entah itu di bulan Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah atau bulan yang lainnya, disebabkan udzur semisal sakit atau yang lainnya, maka terjadi perselisihan di kalangan para ulama menjadi beberapa pendapat:

Pertama: Madzhab sebagian ulama Maliki dan sebagian ulama Hanbali yaitu boleh, menurut mereka keutamaan yang disebutkan dalam hadits bisa diperoleh bagi siapa saja yang berpuasa baik di bulan Syawal atau pun di bulan setelahnya.

Mereka mengatakan bahwa lafazh hadits yang menyebutkan bulan Syawal adalah dalam rangka taisir (memudahkan) kepada mukallaf (seorang) karena melakukan puasa enam hari ini setelah bulan Ramadhan lebih mudah ketimbang melakukannya di bulan setelah Syawal.

Al-‘Adawi dalam hasyiah-nya terhadap kitab Syarh Al-Kharsyi (2/243) mengatakan:

” وإنما قال الشارع : ( من شوال ) للتخفيف باعتبار الصوم ، لا تخصيص حكمها بذلك الوقت ، فلا جرم أن فعلها في عشر ذي الحجة مع ما روي في فضل الصيام فيه أحسن ؛ لحصول المقصود مع حيازة فضل الأيام المذكورة , بل فعلها في ذي القعدة حسن أيضا

Penyebutan syari’ “di bulan Syawal” adalah dalam rangka memberikan keringanan jika ditinjau dari pelaksanaan puasa, bukan dalam rangka memberikan pengkhususan hukum dengan waktu tersebut. Sehingga tidak mengapa untuk melakukan puasa enam hari ini di sepuluh awal bulan Dzul Hijjah, bahkan dengan adanya riwayat mengenai keutamaan puasa di sepuluh hari tersebut hal itu menjadi lebih baik, untuk memperoleh tujuan (puasa enam hari) sekaligus mendapatkan keutamaan hari-hari (sepuluh hari awal bulan Dzul Hijjah) yang telah disebutkan. Melakukannya dibulan Dzul Qa’dah juga baik.

Kedua: Madzhab sebagian ulama Syafi’i yaitu barang siapa yang luput dari puasa enam hari di bulan Syawal maka boleh meng-qadha (melakukan)nya dibulan Dzul Qa’dah. Akan tetapi, pahala yang dia peroleh tidak sama seperti pahala orang yang melakukannya di bulan Syawal.

Ibnu Hajar Al-Makkiy dalam kitab Tuhfah Al-Muhtaj (3/456) mengatakan:

من صامها مع رمضان كل سنة تكون كصيام الدهر فرضا بلا مضاعفة ، ومن صام ستةً غيرها كذلك تكون كصيامه نفلا بلا مضاعفة

Barang siapa yang melakukannya bersama Ramadhan (pada bulan Syawal) maka setiap puasa sunnah tersebut pahalanya seperti puasa wajib setahun penuh tanpa mudha’afah (pelipat gandaan) sedangkan barangsiapa yang melakukannya di luar bulan Syawal maka pahalanya seperti pahala puasa sunnah tanpa mudha’afah.

Ketiga, Madzhab Hanbali yaitu keutamaan puasa enam hari terbebut hanya dapat diperoleh apabila dilakukan di bulan Syawal.

Disebutkan dalam kitab Kasyf Al-Qana’ (2/338):

ولا تحصل الفضيلة بصيامها أي : الستة أيام في غير شوال ، لظاهر الأخبار

“Keutamaannya tidak dapat diperoleh dengan melakukannya, maksudnya: melakukan puasa enam hari di luar bulan Syawal desebabkan makna zhahir dari hadits.”

Pendapat yang lebih kuat

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menguatkan pendapat yang ketiga, dimana jika seorang luput dari puasa enam hari di bulan Syawal maka tidak perlu lagi untuk melakukannya (mengqadha’) di bulan setelahnya. Beliau berkata:

ولا يشرع قضاؤها بعد انسلاخ شوال ؛ لأنها سنة فات محلها ، سواء تركت لعذر أو لغير عذر

“Tidak disyariatkan untuk mengqadha’nya setelah berlalunya bulan Syawal. Karena puasa tersebut hukumnya hanya sunnah dan waktunya sudah lewat, sama saja apakah puasa tersebut ditinggalkan karena udzur ataupun bukan karena udzur.” (Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibn Baz: 15/389)

Oleh sebab itu, berdasarkan pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah maka tidak perlu melakukan qadha puasa enam Syawal apabila memang sudah lewat waktunya. Wallahu a’lam

Referensi: Diringkas dari artikel Islamqa.info dengan judul Man Fatahu Shiyamu As-Sit Min Syawwal Hal Yashumuha fi Dzi Al-Qa’dah?

Baca juga Artikel:

Puasa Enam Hari Di Bulan Syawwal

Bolehkah Puasa Syawal Sebelum Qadha’ Ramadhan?

Maktabah Az-Zahiriy Jatimurni, Rabu 25 Syawwal 1441H/ 17 Juni 2020 M

Zahir Al-Minangkabawi

Follow fanpage maribaraja KLIK

Instagram @maribarajacom

Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja atau dapatkan broadcast artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda  di admin berikut KLIK

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !