Antara Kemudahan Islam Dan Sikap Bermudah-Mudahan
Hal ini penting untuk dipahami, karena banyak orang yang keliru dalam menerapkan prinsip kemudahan Islam ini. Sehingga mereka malah menggunakannya sesuai dengan hawa nafsu semata
Allah berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Ayat ini merupakan salah satu dalil yang sangat jelas dalam menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mudah. Dimana Allah menjelaskan, bahwa ketika hamba-Nya dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan sehingga merasa berat dengan puasa maka boleh baginya untuk tidak berpuasa dan menggantinya di hari yang lain.
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah setelah menyebutkan firman Allah ”Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” beliau berkata: Maksudnya, Allah ingin memudahkan jalan yang menyampaikan kepada ridha-Nya atas kalian dengan kemudahan yang sangat besar. Oleh karena itulah, semua apa yang diperintahkan Allah kepada hamba-Nya, asalnya berada pada puncak kemudahan. Dan ketika terjadi sebagian keadaan yang dapat menyebabkan kesukaran maka Allah akan memberikan kemudahan yang lain, bisa jadi dengan menggugurkan-nya, atau meringankannya dengan beragam keringanan.[1]
Ada beberapa pembahasan terkait dengan hal ini:
- Islam adalah agama yang mudah
Banyak sekali dalil yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mudah. Sebagaimana terdapat dalil Al-Qur’an, demikian pula dalil dari Sunnah. Diantaranya riwayat dari Abu Hurairah bahwa Nabi n bersabda:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ
“Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mem-persulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit).” [2]
Diantara dalilnya juga yaitu riwayat dari Abu Musa dia berkata, “Apabila Rasulullah n mengangkat seseorang dari sahabatnya untuk melaksanakan perintahnya, beliau bersabda:
بَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا وَيَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا
“Berilah mereka kabar gembira dan janganlah membuat mereka lari, mudahkan urusan mereka jangan kamu persulit.” [3]
Oleh karena itu, ketik ada sahabat yang memberatkan sehingga membuat orang lari, Rasulullah menegurnya dengan keras. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Muadz bin Jabal. Kisahnya diceritakan oleh Jabir bin Abdillah, dia berkata;
كَانَ مُعَاذٌ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَرْجِعُ فَيَؤُمُّنَا قَالَ مَرَّةً ثُمَّ يَرْجِعُ فَيُصَلِّي بِقَوْمِهِ فَأَخَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً الصَّلَاةَ وَقَالَ مَرَّةً الْعِشَاءَ فَصَلَّى مُعَاذٌ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ جَاءَ يَؤُمُّ قَوْمَهُ فَقَرَأَ الْبَقَرَةَ فَاعْتَزَلَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ فَصَلَّى فَقِيلَ نَافَقْتَ يَا فُلَانُ فَقَالَ مَا نَافَقْتُ فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ مُعَاذًا يُصَلِّي مَعَكَ ثُمَّ يَرْجِعُ فَيَؤُمُّنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّمَا نَحْنُ أَصْحَابُ نَوَاضِحَ وَنَعْمَلُ بِأَيْدِينَا وَإِنَّهُ جَاءَ يَؤُمُّنَا فَقَرَأَ بِسُورَةِ الْبَقَرَةِ فَقَالَ يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ أَفَتَّانٌ أَنْتَ اقْرَأْ بِكَذَا اقْرَأْ بِكَذَا قَالَ أَبُو الزُّبَيْرِ بِسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى
“Mu’adz biasa shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian dia kembali dan menjadi imam (shalat) bagi kami’ -di lain kali Jabir mengatakan; kemudian dia kembali dan menjadi imam (shalat) bagi kaumnya-, pada suatu malam, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengakhirkan shalat -di lain kali Jabir mengatakan; shalat Isya’- Mu’adz mengerjakan shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu kembali (ke kaumnya) menjadi imam (shalat) bagi kaumnya dengan membaca surat Al Baqarah, (karena panjangnya) maka salah seorang laki-laki memisahkan diri dari Jama’ah dan mengerjakan shalat sendirian, hingga di katakan kepadanya; “kamu telah berbuat nifak wahai fulan.” Laki-laki itu menimpali; “aku tidak munafik.” Lantas laki-laki itu pergi menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata; “Sesungguhnya Mu’adz biasa mengerjakan shalat bersama anda, kemudian ia kembali (ke kaumnya) dan menjadi imam (shalat) bagi kami, wahai Rasulullah, kami hanya pemilik unta pengangkut air dan kami harus bekerja keras, sesungguhnya dia datang mengimami kami dengan membaca surat Al Baqarah.” Maka beliau bersabda: “Wahai Mu’adz, apakah kamu hendak menyebarkan fitnah, apakah kamu hendak menyebarkan fitnah, bacalah surat ini, bacalah surat ini.” Abu Zubair mengatakan; “Cukup dengan membaca ‘sabbihisma rabbikal a’la dan wallaili idzaa yaghsyaa.” [4]
- Macam-macam kemudahan Islam
Kemudahan agama ada dua macam yaitu: [5]
Pertama: Kemudahan asli
Maksudnya, semua syari’at dan hukum Islam, semuanya adalah mudah. Inilah yang biasa dimaksud dalam banyak dalil. Imam Ibnu Hazm v berkata: “Semua perintah Allah w kepada kita adalah mudah dan tidak berat. Dan tidak ada kemudahan yang lebih daripada sesuatu yang mengantarkan manusia menuju surga dan menjauhkan mereka dari neraka” [6]
Kedua: Kemudahan karena ada sebab (insedental)
Semua syari’at pada asalnya mudah, sekalipun demikian bila ada sebab maka Allah w menambah kemudahan lagi, seperti orang safar diberikan keringanan untuk qoshor dan jama’, orang tidak bisa berwudhu diberi keriganan untuk tayammum dan seterusnya.
- Makna kemudahan
Syaikh Dr. Muhammad bin Umar Bazmul mengatakan:
فَكُلُّ مَا ثَبَتَ أَنَّهُ مِنَ الدِّينِ بِالدَّلِيلِ فَهُوَ يُسْرٌ ، وَلَيْسَ مَعْنَى قَوْلِهِ (إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ) لَيْسَ مَعْنَاهً أَنْ تَخْتَارَ الأَيْسَرَ مُطْلَقًا ، بِدُوْنِ ضَوَابِطَ وَقُيُوْدٍ
Segala sesuatu yang telah valid berdasarkan dalil bahwa ia termasuk bagian dari agama maka itulah adalah kemudahan. Sabda beliau “Sesungguhnya agama itu mudah” bukan berarti engkau memilih sesuatu yang lebih mudah secara mutlak tanpa adanya ketentuan dan pembatasan. [7]
Defenisi ini penting untuk dipahami, karena banyak orang yang keliru dalam menerapkan prinsip kemudahan Islam ini. Sehingga mereka malah menggunakannya sesuai dengan hawa nafsu semata.
Hadits Muadz tentang shalat Isya di atas jelas menunjukkan bahwa kemudahan itu bukan berdasarkan hawa nafsu. Manusia jika diberi kebebasan untuk menentukan surat yang mudah untuk mereka, pasti kebanyakan akan memilih surat-surat pendek seperti Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan surat yang semisal. Namun disini Rasulullah menunjukkan untuk membaca surat Al-A’la, Al-Ghasyiyah dan surat yang semisal, padahal surat ini bagi sebgaian orang adalah surat yang lumayan panjang.
Jadi, semua yang ditetapkan syariat itulah kemudahan meski secara sepintas manusia memandangnya sulit seperti dalam riwayat dari Abu Sa’id Al Khudri dan dari Abu Hurairah, keduanya berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعْمَلَ رَجُلًا عَلَى خَيْبَرَ فَجَاءَهُ بِتَمْرٍ جَنِيبٍ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكُلُّ تَمْرِ خَيْبَرَ هَكَذَا فَقَالَ لَا وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا لَنَأْخُذُ الصَّاعَ مِنْ هَذَا بِالصَّاعَيْنِ وَالصَّاعَيْنِ بِالثَّلَاثَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا تَفْعَلْ بِعْ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيبًا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengangkat pegawai seseorang di Khaibar, suatu saat dia datang dengan membawa kurma Janib (sejenis kurma yang bermutu tinggi), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “Apakah semua jenis kurma Khaibar seperti ini?” dia menjawab, “Tidak. Demi Allah wahai Rasulullah, kami di sana terbiasa menukar satu sha’ kurma seperti ini dengan dua sha’, atau dua sha’ ditukar dengan tiga sha’.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jangan lakukan lagi perbuatan seperti ini, jualah semuanya terlebih dahulu dengan dirham, kemudian dengan dirham itu kamu gunakan untuk membeli kurma yang lebih bagus.” [8]
Secara sepintas tentu kebanyakan kita akan mengatakan bahwa langsung menukar dua karung kualitas jelek dengan satu karung kualitas bagus itulah yang lebih mudah ketimbang harus menjual dulu, akan tetapi syariat memerintahkan hal tersebut sehingga kita wajib mengatakan bahwa itulah yang mudah, baik kita tahu hik-mahnya ataupun tidak.
- Tidak boleh bersikap bermudah-mudahan
Banyak orang yang keliru sehingga berdalih dengan alasan Islam agama mudah mereka pun menerjang banyak hal yang dilarang syariat. Di antara contohnya:
- Berjabat tangan dengan lawan jenis bukan mahram
- Bermudah-mudahan dalam berhutang
- Bermudah-mudahan berobat dengan benda yang najis atau haram.
- Bermudah-mudahan dalam dalam urusan hubungan muda-mudi bukan mahram dengan alasan untuk memudahkan mereka mendapatkan pasangan.
- Menjama’ shalat untuk mempertahankan make up ketika pesta pernikahan
- Dll
Kesimpulan:
- Islam adalah agama yang mudah
- Segala sesuatu yang ditetapkan oleh syari’at itulah kemudahan
- Memilih hal yang paling mudah harus dengan syarat tidak ada larangan dari syariat. Hal ini persis sebagaimana praktek Rasulullah n, dari Aisyah radhiyallahu anha, ia menuturkan:
مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطُّ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ فِي شَيْءٍ قَطُّ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ بِهَا لِلَّهِ
“Tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi pilihan di antara dua perkara, kecuali beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya, selama hal itu bukan merupakan dosa. Jika hal itu merupakan dosa, maka beliau adalah manusia yang paling jauh dari dosa. Dan tidaklah beliau membalas dengan hukuman untuk (membela) dirinya di dalam sesuatu sama sekali. Kecuali jika perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar, maka beliau akan membalas dengan hukuman terhadap perkara itu karena Allah.” [9]
Wallahu a’lam, semoga pembahasan singkat ini memberikan man-faat kepada pembaca dan penulis. Amin
Baca juga Artikel
Al-Qur’an Dan Sunnah Sebagai Tolak Ukurnya
Jatimurni, Selasa, 8 Ramadhan 1442H/ 20 April 2021M
Follow fanpage maribaraja KLIK
Instagram @maribarajacom
Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja atau dapatkan broadcast artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda di admin berikut KLIK
_______________________________________________
[1]. Taisir Al-Karim Ar-Rahman: 71
[2]. HR. Bukhari: 39
[3]. HR. Muslim: 1732
[4]. HR. Abu Dawud: 790
[5]. Dinukil dari Mengenal 5 Kidah Dalam Fikih tulisan guru kami Al-Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi Hlm. 32-33
[6]. Al-Ihkam 2/176.
[7]. Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah Al-Khamsu Al-Kubra hlm. 85
[8]. HR. Bukhari: 2201, Muslim: 1593
[9]. HR. Bukhari: 6126, Muslim: 2327