Anak Butuh Pendidik yang Berakhlak Mulia
Kenakalan anak terkadang terjadi karena faktor orang tua atau pendidik yang kurang terampil. Sebab, anak merupakan lembaran suci yang belum tergores oleh tinta yang mengotorinya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberitahu bahwa anak pada asalnya lahir dalam keadaan fitrah, lalu kedua orang tuanya yang menjadi sebab anak berubah dari fitrahnya. Menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi, ini penting buat pegangan orang tua atau pendidik, terutama ketika anak masih berusia muda.
Mudahkan, jangan dipersulit
Setiap manusia ingin kemudahan. Begitu pula anak kecil yang belum sempurna kekuatan fisik dan daya nalarnya. Orang tua atau pendidik hendaknya memperhatikan kemampuan anak didiknya. Sebab, satu sama lain berbeda kecerdasannya, walaupun sama umurnya. Orang tua hendaknya tidak membebani anak, baik berupa ibadah atau pelajaran yang di luar kemampuannya. Demikian juga orang tua, hendaknya tidak melontarkan kalimat atau perkataan yang tidak layak didengar oleh anak, atau melakukan tindakan fisik yang mengakibatkan kerusakan badan dan jiwanya.
Ini mengingatkan kita tatkala Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengutus Mu’adz dan Abu Musa ke Yaman, beliau shallallahu alaihi wasallam berpesan:
يَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا وَبَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا وَتَطَاوَعَا وَلَا تَخْتَلِفَا
“Mudahkanlah (urusan) dan jangan dipersulit. Berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari (tidak tertarik) dan bekerjasamalah kalian berdua dan jangan berselisih.” (HR. al-Bukhari: 2811)
Apabila Rasulullah shallallahu alaihi wasallam saja menyuruh sahabatnya agar berlaku lembut dan mempermudah urusan masyarakat yang didakwahi dan memerintah agar bekerjasama di dalam menyampaikan dakwah, maka bagaimana dengan anak yang masih kecil dan belum sempurna akalnya? Tentu lebih membutuhkan kelembutan dan kemudahan.
Hadits ini juga menghimbau pendidik agar bekerjasama untuk menanggulangi masalah kenakalan dan keterlambatan anak. Perlunya kerja sama antara orang tua serta keluarga. Para pendidik dan pengurus hendaknya benar-benar memperhatikan perkara ini, agar anak merasa diperhatikan oleh semua pihak. Sebab, sesuatu yang dihasilkan dari musyawarah insya Allah lebih banyak faedahnya daripada berpijak kepada pendiriannya sendiri.
Orang tua atau pendidik yang bijak, pandai mengambil hati anak. Dialah yang dicintai oleh anak didiknya. Berbeda dengan pendidik yang keras kepala dan sering mencaci. Anak lebih senang menjauhinya. Ulet dan sabar menghadapi anak yang bermasalah sangat dianjurkan di dalam Islam, lantaran akan membawa manfaat yang besar. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berdoa kepada Allah:
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ
“Ya Allah, barangsiapa yang menjadi pemimpin umatku dalam suatu hal, lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia. Dan barangsiapa yang menjadi pemimpin umatku dalam suatu hal, lalu ia bersikap lembut terhadap mereka, maka berikanlah kelembutan (kasih sayang) kepadanya.” (HR. Muslim 6/7)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
الْمُسْلِمُ إِذَا كَانَ مُخَالِطًا النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ خَيْرٌ مِنْ الْمُسْلِمِ الَّذِي لَا يُخَالِطُ النَّاسَ وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
“Seorang muslim yang bergaul dengan manusia dan bersabar terhadap kejelekan mereka, lebih baik daripada seorang muslim yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar atas kejelekan mereka.” (Shahih Ibnu Majah: 4032)
Inilah petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menghibur orang tua dan pendidik agar memiliki sifat sabar dan ulet ketika dihadapkan masalah oleh anak didiknya. Bukankah kemenangan dan keberhasilan diawali dengan kesabaran dan istiqamah di atas yang hak? (QS. as-Sajdah [32]: 24)
Pendidik hendaknya belas kasihan
Fitrah manusia lebih menyukai kasih sayang daripada kekerasan. Orang tua dan pendidik hendaknya lebih memiliki sifat kasih sayang dan berusaha menyayangi anak didiknya, sekalipun akhlak anak kurang berkenan di hati pendidik. Semisal suka melawan atau mencaci. Kita maklumi, dia kurang sempurna fisik dan akalnya. Upayakan kita bisa menolak kejelekannya dengan kebaikan, sekalipun berat di hati. Namun itu akan cukup berarti. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah berpesan kepada Abu Dzar radhiyallahu anhu:
اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah engkau kepada Allah di manapun engkau berada. Ikutilah (perbuatan) yang buruk dengan (perbuatan) yang baik, niscaya -perbuatan yang baik itu- akan menghapus perbuatan yang buruk. Dan, pergauli manusia dengan budi pekerti yang baik.” (HR. at-Tirmidzi, dihasankan oleh al-Albani dalam al-Misykāh: 5083)
Perangai orang tua yang baik dan kasih sayangnya sungguh sangat berarti bagi anak. karena, kepada siapa lagi anak mengharap kasih sayang dan kelembutan jika bukan dari orang tuanya? Pendidik pun hendaknya punya jiwa yang sama. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
“Sesungguhnya kasih sayang itu tidak akan berada pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya (dengan kebaikan). Sebaliknya, jika kasih sayang itu dicabut dari sesuatu, niscaya ia akan membuatnya buruk.” (HR. Muslim 8/22)
Demikian juga keberhasilan dakwah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, di antara sebabnya lantaran beliau dikaruniai oleh Allah sifat lembut kepada objek dakwah. (QS. Āli ‘Imrān [3]:159)
Kelembutan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada saat anak menangis
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun berbelas kasih kepada anak kecil. Pada saat beliau shalat berjamaah dan hendak memperpanjang bacaannya, beliau mendengar tangisan anak kecil. Lantas beliau memperpendek bacaan shalatnya. Beliau tidak marah kepada orang tuanya, tidak pula memarahi anak yang menangis itu. (HR. al-Bukhari: 666)
Begitulah seharusnya sikap orang tua atau pendidik ketika dihadapkan pada moral anak yang kurang berkenan di hati, hendaknya bersabar dan menyikapinya dengan baik.
Bantulah bila anak tidak mampu
Ketika orang tua menyuruh sesuatu kepada anak, baik ketika dia diperintah membaca al-Qur`an atau menjalankan ibadah, orang tua hendaknya melihat kemampuan anak. terkadang anak tidak mampu, karena keterbatasan berpikir atau kemampuan fisiknya. Jika demikian, orang tua hendaknya segera membantunya, agar dia tidak panik, tidak merasa ketakutan atau perasaan lainnya yang mengakibatkan anak putus asa dan lemah semangatnya.
Al-Ma’rur bin Suwaid berkata, “Aku pernah melihat Abu Dzar al-Ghifari yang ketika itu memakai pakaian yang sama (seragam) dengan budak kecilnya. Kami pun bertanya kepadanya tentang masalahnya itu. Maka dia berkata, ‘Aku pernah menawan seorang laki-laki, lalu hal ini aku adukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku, ‘Apakah kamu menjelek-jelekkkannya karena ibunya?!’ kemudian beliau bersabda:
أَعَيَّرْتَهُ بِأُمِّهِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ إِخْوَانَكُمْ خَوَلُكُمْ جَعَلَهُمْ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ فَمَنْ كَانَ أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ وَلَا تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَأَعِينُوهُمْ
“Sesungguhnya saudara-saudara kalian adalah tanggungan kalian, ketika Allah menjadikan mereka di bawah tangan kalian. Maka siapa saja yang saudaranya berada di tangannya, hendaklah dia memberi makan dari apa yang dia makan dan memberi pakaian dari pakaian yang ia pakai. Dan janganlah kalian membebani mereka dengan apa yang mereka tidak sanggup. Jika kalian membebani mereka dengan apa yang mereka tidak sanggup maka bantulah mereka.’” (HR. al-Bukhari 2/889)
Dengan demikian, kita sebagai orang tua dan pendidik tidak boleh mencaci dan mencemooh apabila melihat anak didik kita kurang terampil membaca al-Quran, dalam masalah pelajaran, bahkan ibadah dan urusan lainnya. Solusinya, kita harus membantunya, sebagaimana kita sangat senang bila kita dibantu. Memang begitu indah bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bagi umat yang disayanginya.
Bilakah orang tua boleh melakukan kekerasan?
Memang suatu saat anak yang bandel menjadi baik dengan kekerasan. Tentu bila sudah diupayakan dengan lembut dan belum berhasil. Bukanlah maksud kekerasan ialah merusak badan atau melontarkan cacian dan penghinaan. Sebab, kita hanya bermaksud memperbaiki yang jelek agar menjadi baik, bukan ingin merusak.
Adapun dasar dibolehkannya kita mendidik dengan kekerasan bila memang memberikan manfaat, ialah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ
“Perintahkan anakmu agar menjalankan shalat tatkala berumur 7 tahun, dan pukullah mereka jika enggan menjalankan shalat tatkala berumur 10 tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka dengan yang lain.” (Shahih. HR. Abu Dawud 2/167)
Tetapi perlu diingat, kita tidak diperkenankan memukul bagian wajah dan anggota badan lain yang berbahaya. Sebab, memukul wajah hukumnya haram. Kita pun dilarang mencaci dan mendoakan jelek kepada anak didik. Hal itu karena suatu saat doa itu bisa saja dikabulkan, sehingga yang menyesal orang tua sendiri. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لاَ تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ وَلاَ تَدْعُوا عَلَى أَوْلاَدِكُمْ
“Janganlah kamu mendoakan jelek kepada dirimu dan anakmu.” (HR. Muslim 3/38)
Ketika kita menghukum mereka hendaknya dengan adil, tidak boleh pilih kasih, agar anak tidak terkesan dizalimi. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
اتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا فِي أَوْلَادِكُمْ
“Takutlah kepada Allah dan berlaku adillah terhadap anak-anakmu.” (HR. Muslim 5/65-66)
Semoga Allah senantiasa memberi hidayah kepada kita semua dalam mendidik dan mencetak anak-anak kita sehingga menjadi anak yang shalih dan shalihah. Amin.