Islam Agama Pertengahan (Wasath), Waspadai Sifat Ghuluw dan Tafrith

Allah subhanahu wata’ala telah menyebutkan bahwa Islam itu adalah agama yang wasath yaitu pertengahan antara ghuluw (berlebih-lebihan) dan tafrith (meremehkan), Allah berfirman:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

Dan demikianlah Kami telah menjadikan kamu, umat yang pertengahan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas perbuatan kamu. (QS. Al-Baqarah: 143)

Semua syari’at baik i’tiqad (keyakinan), ibadah maupun muamalah dibangun di atas konsep ini. Dalam masalah keyakinan, misal keyakinan terhadap Isa bin Maryam maka Islam menyatakan

وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ

Bahwa ‘Isa adalah hamba Allah, utusan-Nya. (HR. Bukhari: 3435)

Hal ini untuk membantah orang-orang Nasrani dan Yahudi. Sekaligus menunjukkan sifat pertengahannya agama Islam dari keduanya. Kata ‘abduhu (hamba-Nya) sebagai bantahan kepada Nashrani bersifat ghuluw sehingga menuhankan Nabi Isa. Sedangkan kata rasuluhu (Rasul-Nya) sebagai bantahan kepada Yahudi yang meremehkan sehingga mereka mengatakan Isa adalah anak pelacur.

Dalam masalah ibadah seperti shalat misalnya, dari Aisyah radhiallahu anha, ia menuturkan:

دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدِي امْرَأَةٌ فَقَالَ مَنْ هَذِهِ فَقُلْتُ امْرَأَةٌ لَا تَنَامُ تُصَلِّي قَالَ عَلَيْكُمْ مِنْ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ فَوَاللَّهِ لَا يَمَلُّ اللَّهُ حَتَّى تَمَلُّوا وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيْهِ مَا دَاوَمَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ

“Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke dalam rumahku, yang saat itu saya bersama dengan seorang wanita. Maka beliau pun bertanya: ‘Siapa wanita ini? ‘ Saya menjawab, ‘Ia adalah seorang wanita yang tidak pernah tidur karena selalu menunaikan shalat sepanjang malam.’ Maka beliau bersabda: ‘Beribadahlah kalian sesuai dengan kemampuan kalian. Demi Allah, Dia tidak akan pernah bosan hingga kalian sendiri yang bosan. Dan amalan agama yang paling dicintai olehNya adalah yang dikerjakan dengan kontinyu oleh pelakunya.’” (HR. Muslim: 785)

Dalam masalah sedekah juga demikian. Ketika Allah menyebutkan tentang Ibadurrahman yaitu hamba pilihan-Nya, maka salah satu sifat mereka adalah :

وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS. Al-Furqon: 67)

Bahkan dalam hal cinta dan benci pun syari’at mengajarkan untuk bersikap pertengahan Ali bin Abi Thalib mengatakan:

أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا وَأَبْغِضْ بَغِيضَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا

Cintailah orang yang engkau cintai seperlunya, karena bisa saja suatu hari dia akan menjadi musuhmu, dan bencilah orang yang kamu benci seperlunya, karena bisa jadi suatu hari kelak dia akan menjadi orang yang engkau cintai.” (HR. Tirmidzi: 1997)

Barang siapa yang dalam beragama tidak mau bersikap pertengahan maka dia akan celaka. Sebab sifat ghuluw (berlebihan) dan tafrith (meremehkan) adalah dua makar setan. Imam Al-Auza’i mengatakan:

ما من أمرٍ أَمَر الله به، إلا عارَضَه الشيطانُ بخَصْلَتين، لا يُبَالِي أيَّهما أصاب: الغُلُو والتقصير

Tidak ada satu pun perintah Allah kecuali akan dihalangi oleh setan dengan dua sifat, ia tidak peduli mana diantara keduanya yang berhasil yaitu ghuluw dan taqshir (meremehkan). Al-I’tidal fi At-Tadayyun: 24

Oleh sebab itu, berhati-hati dari dua makar setan ini. Pertengahanlah dalam beragama dan supaya kita bisa terjaga dari sifat ghuluw dan tafrith maka mendekatlah kepada ilmu dan ulama, kemudian berdo’alah kepada Allah agar Allah melindungi kita dari dua sifat yang berbahaya ini.

#faidah singkat. Selesai ditulis di rumah, Kranggan Bekasi, Selasa 23 Shafar 1441/ 22 Okt 2019

Penulis: Zahir Al-Minangkabawi
Follow fanpage maribaraja KLIK
Instagram @maribarajacom

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !