Syarhus Sunnah – #5 Menetapkan Sifat-Nya Tanpa Tamtsil Dan Ta’thil
Pada bagian ini Imam Al-Muzani rahimahullah memaparkan wajibnya kita mengingat Allah, bersyukur, dan menetapkan sifat-Nya tanpa tamtsil dan ta’thil
Imam Al-Muzani rahimahullah mengatakan:
بَدَأْتُ فِيهِ بِحَمْدِ اللهِ ذِي الرُّشْدِ وَالتَّسْدِيْدِ ،الْحَمْدُ للهِ أَحَقُّ مَنْ ذُكِرَ وَأَوْلَى مَنْ شُكِرَ وَعَلِيهِ أُثْنِي الوَاحِدُ الصَّمَدُ , لَيْسَ لَهُ صَاحِبَةٌ وَلاَ وَلَدٌ , جَلَّ عَنِ المَثِيْلِ فَلاَ شَبِيْهَ لَهُ وَلاَ عَدِيْلَ , السَّمِيْعُ البَصِيْرُ , العَلِيْمُ الخَبِيْرُ , المَنِيْعُ الرَّفِيْعُ
Aku memulai dengan memuji Allah, Dzat yang memiliki petunjuk dan jalan yang lurus. Segala puji bagi Allah, Dzat yang paling pantas untuk disebut dan paling utama untuk disyukuri. Kepada-Nyalah aku menyanjung. Allah Maha Esa, Ash–Shamad. Dia tidak memiliki pasangan dan anak. Maha Suci dari tandingan. Tidak ada yang serupa dan setara dengan-Nya. Dia-lah Maha Mendengar lagi Maha Melihat, Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal, yang mencegah dan Maha Tinggi.
❀•◎•❀
Pelajaran Berharga:
Pertama: Allah adalah Dzat yang paling utama untuk diingat dan diberikan syukur, sehingga sebelum bersyukur (berterima kasih) kepada makhluk maka seorang wajib bersyukur terlebih dahulu kepada Allah.
Allah memerintahkan kita untuk senantiasa mengingat-Nya, diantaranya melalui firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا
Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. (QS. Al-Ahzab: 41)
Dalam segala keadaan, terutama dalam kondisi lapang. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
تعرَّفْ إلى اللهِ في الرَّخاءِ يَعْرِفْكَ في الشِّدَّة
“Kenalilah Allah ketika senang maka Dia akan mengenalmu ketika susah.” (HR. Tirmidzi: 2516, Shahihul Jami’: 7957)
Mengapa ditekankan dalam kondisi lapang? Karena dalam kondisi tersebutlah banyak manusia yang lalai mengingat Allah.
Majelis Ilmu adalah Dzikir
Diantara cara untuk mengingat Allah adalah hadir di mejelis ilmu. Sebab majelis ilmu adalah bagian dari dzikir, bahkan paling utama.
Dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu wa’alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ
“Apabila kalian melewati taman Surga, maka ambillah (singgahlah)!” Para sahabat bertanya; apakah taman Surga itu wahai Rasulullah? Beliau mengatakan: “Halaqah-halaqah dzikir.” (HR. Tirmidzi: 3510)
Halaqah atau majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis ilmu bukan majelis dzikir jama’ah yang banyak kita temukan sekarang. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Atha’ bin Abi Rabah seorang imam zaman Tabi’in, beliau berkata:
مجالس الذكر هي مجالس الحلال والحرام، كيف يشتري ويبيع ويصلي ويصوم وينكح ويطلق ويحج؟ وأشباه هذا
Majelis dzikir adalah majelis (mempelajari) halal-haram, bagaimana ia menjual, membeli, shalat, puasa, menikah, mentalak, berhaji, dan semisal hal ini. (Tarikh Dimasyq: 40/432)
Mengingat Allah berkaitan erat dengan syukur. Dengan kata lain, seorang yang mengingat Allah hnedaknya menjadikan dirinya senantiasa bersyukur kepada Allah. Oleh karena itu, dzikir dengan syukur disebutkan dalam satu ayat secara bergandengan Allah berfirman:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (QS. Al-Baqarah: 152)
Setelah bersyukur kepada Allah maka kita diperintahkan untuk bersyukur (berterima kasih) kepada orang-orang yang memberikan kebaikan kepada diri kita. Sebab, hal ini juga merupakan bagian dari syukur kepada Allah. Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
لَا يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ
“Tidak dianggap bersyukur kepada Allah orang yang tidak bersyukur kepada manusia.” (HR. Abu Dawud: 4811)
❀•◎•❀
Kedua: Wajibnya senantiasa bersyukur kepada Allah atas segala nikmatnya yang tidak terhitung.
Nikmat yang kita sadari sebagai sebuah nikmat saja tidak terhitung, lantas bagaimana dengan nikmat-nikmat yang tidak kita sadari.
Setiap detik kehidupan kita tidak lepas dari nikmat Allah. Baik ketika kita dalam keadaan lapang ataupun sempit. Oleh sebab itu, Jadilah pribadi yang selalu bersyukur, lisan senantiasa basah dengan ucapan alhamdulillah dalam segala keadaan. Seperti teladan kita, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau selalu mengucapkan Alhamdulillah dalam segala kondisi beliau. ‘Aisyah radhiyallahu anha berkata;
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَى مَا يُحِبُّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ وَإِذَا رَأَى مَا يَكْرَهُ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ
“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat sesuatu yang ia senangi, beliau mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya semua kebaikan menjadi sempurna.” dan apabila melihat sesuatu yang dibenci, beliau mengucapkan: “Segala puji bagi Allah atas setiap keadaan.” (HR. Ibnu Majah: 3803)
❀•◎•❀
Ketiga: Ta’thil artinya menolak sedangkan Tamtsil artinya menyetupakan dengan makhluk. Dalam hal nama dan sifat Allah, Ahlussunnah bersikap pertengahan, antara kelompok yang menolak (ta’thil) dan kelompok yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya (tamtsil). Artinya Ahlussunnah menetapkan sifat Allah namun tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk.
Manusia dalam hal nama dan sifat Allah terbagi menjadi tiga golongan, yaitu
- Ghuluw dalam menetapkan nama dan sifat Allah, sehingga nama-nama dan sifat-sifat yang tidak ada dalilnya mereka tetapkan sebagai nama dan sifat Allah. Kemudian mereka juga menyerupakan Allah dengan makhluk (tamtsil). Sebagaimana yang terjadi pada orang Yahudi, Nasrani dan kaum musyrikin. Allah berfirman:
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَٰنُ وَلَدًا ۞ لَّقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا ۞ تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا ۞ أَن دَعَوْا لِلرَّحْمَٰنِ وَلَدًا ۞ وَمَا يَنبَغِي لِلرَّحْمَٰنِ أَن يَتَّخِذَ وَلَدًا ۞ إِن كُلُّ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَٰنِ عَبْدًا
Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak”. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. (QS. Maryam: 88-93)
Allah juga berfirman berkaitan dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَٰلِكَ قَوْلُهُم بِأَفْوَاهِهِمْ ۖ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن قَبْلُ
Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang-orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah”. Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. (QS. At-Taubah: 30)
- Ghuluw dalam menafikan, nama dan sifat Allah yang jelas dalilnya mereka tolak, entah dengan ta’thil (menolak) maupun dengan ta’wil (menyimpangkan makna). Entah itu yang ditolak semuanya maupun sebagian.
- Pertengahan, menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-nya serta menolak apa yang tidak ditetapkan Allah dan Rasul-nya, inilah madzhabnya Ahlussunnah Waljamaah.
❀•◎•❀
Keempat: Menetapkan nama dan sifat Allah yang sesuai dengan kemulian-Nya, Dia tidak sama dengan makhluk-Nya. Seperti Allah melihat dan mendengar namun penglihatan dan pendengaran Allah tidak sama seperti penglihatan dan pendengaran makhluk-Nya.
Inilah yang menjadi Akidah para imam Ahlus Sunnah, menetapkan tetapi tanpa tamtsil. Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan:
نُثْبِتُ هَذِهِ الصِّفَاتِ الَّتِيْ جَاءَ بِهَا الْقُرْآنُ وَوَرَدَتْ بِهَا السُّنَةُ وَنَنْفِيْ التَّشْبِيْهَ عَنْهُ كَمَا نَفَى عَنْ نَفْسِهِ فَقَالَ: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ
“Kita menetapkan sifat-sifat Allah ini yang dijelaskan al-Qur’an dan Sunnah dan kita meniadakan tasybih (penyerupaan) dari-Nya sebagaimana Allah telah meniadakan tasybih itu dari diri-Nya sendiri, Allah berfirman: Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengannya. (QS. Asy-Syura: 11)” (Siyar ‘Alaam An Nubala 20/341, ‘Itiqad Al Aimmah Al Arba’ah: 42)
Oleh sebab itu, mari kita belajar kembali agar kita tidak termakan dengan syubhat yang sangat banyak tersebar saat ini. Sehingga kita bisa menetapkan sifat Allah tanpa tamtsil dan ta’thil
Lihat arsip pembahasan kitab Syarhus Sunnah Imam Al-Muzani disini:
Syarhus Sunnah Imam Al-Muzani
Selesai disusun di Jatimurni Bekasi, Kamis 1 Muharram 1442 H/ 20 Agustus 2020M
Follow fanpage maribaraja KLIK
Instagram @maribarajacom
Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja atau dapatkan broadcast artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda di admin berikut KLIK