ANTARA MACET, SAPI DAN KITA (Art.Refleksi Hikmah)

MACET

Macet adalah teman sekaligus musuh bagi orang-orang di ibukota ini. Setiap hari dan selalu saja melelahkan. Sekarang, tidak hanya di jam-jam sibuk tapi hampir di setiap waktu. Tidak hanya di jalan-jalan arteri biasa, di jalan tol pun juga. Bahkan, di jalan tol lebih parah dan lebih menyiksa.
Bagaimana tidak, saat terjebak macet di jalan biasa, Anda masih bisa minggir ke kanan, ke kiri untuk singgah sejenak atau sekedar hendak membeli sebotol air mineral. Akan tetapi, jika macet itu terjadi di dalam tol dan menggila, Anda akan lari kemana?

Saya pernah terjebak macet di tol Cikampek arah Jakarta. Sungguh sangat luar biasa. Rest area penuh sesak dengan orang-orang yang senasib seperjuangan. Bahu jalan penuh pula dengan antrian panjang. Tidak bisa balik arah atau keluar, sangat melelahkan; badan apalagi pikiran. Mungkin seandainya bisa, tentu kita akan lebih memilih jalan kaki dan membiarkan mobil begitu saja. Tapi itu tidak boleh. Jadi tidak ada pilihan selain harus tetap bersabar.
Di ibukota, bermacam cara dilakukan untuk mengatasinya. Yang teranyar, penerapan ganjil genap di beberapa titik dalam waktu-waktu tertentu.

Tapi tidak terlalu berpengaruh. Memang kemacetan di tempat itu berkurang, tapi pindah ke tempat lain. Oleh karena itu, ada juga meme menarik di media-media sosial tentang macet ini. Katanya begini; “Sehebat apa pun Gubernurnya, hanya Idul Fitri yang bisa mengatasi macet.” Bagaimana menurut Anda? Sepertinya ada betulnya.

SAPI-SAPI AUSTRALIA

Beberapa waktu yang lalu menjelang hari raya kurban, saya diajak oleh seorang teman untuk melihat-lihat sapi. Kebetulan teman kita ini termasuk salah seorang pedagang sapi tahunan untuk Idul Adha. Lokasinya numpang di sebuah rumah potong. Setelah melihat sapi yang dipersiapkan untuk kurban; sapi Bali dan sapi Madura, saya berkeliling ingin tahu saja dan ternyata ada bagian yang menarik.

Bagian itu penuh sesak oleh sapi yang berpostur raksasa. Tingginya menyamai tinggi laki-laki dewasa. Kepalanya besar, tidak bertanduk, telinganya panjang tidak seperti sapi-sapi negeri kita. Dan ternyata benar, ini sapi impor dari negeri seberang; Australia. Mereka sedang antri menunggu giliran, entah malam ini atau esok, yang jelas dua puluh ekor setiap malamnya. Untuk apa? Untuk disembelih kemudian dagingnya disebar, untuk memenuhi kebutuhan daging bagi masyarakat daerah Jakarta dan sekitarnya.

Saat itu saya berpikir, jika seandainya saya yang jadi sapi dan termasuk dari kawanan sapi-sapi itu, apa gerangan perasaan saya? Kalau saya jadi sapi Bali atau Madura, mungkin saya akan berpikir; “Kapan datang orang yang membeliku? Kemana aku akan dipindah? Ke masjidkah? Mushallakah? Kemana? Tapi, yang jelas kemana pun nanti aku berlabuh, setelah Idul Adha akan disembelih sebagai hewan kurban. Alangkah cepatnya hari raya itu….
Dan seandainya aku jadi sapi Australia itu, lebih parah lagi. Pilihannya hanya dua; malam ini atau esok hari. Tidak menunggu pembeli, tidak dipindah lagi. Hanya bergeser sedikit ke bagian depan, kemudian pisau tajam akan meliuk-liuk di leherku. Memisahkan ruh dan jasad. Apa yang harus aku perbuat? Lari? Tapi, kemana dan bagaimana caranya???”

KEHIDUPAN KITA

Sebenarnya jika kita mau merenungkan, cerita macet dan sapi-sapi itu ada persis pada diri kita masing-masing. Kita sedang dalam antrian menunggu juga. Sebab, kehidupan kita di dunia ini hanyalah antrian panjang mengunggu sebuah kepastian yaitu kematian.  

Allah berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ

“Setiap yang bernyawa pasti akan mati.” (QS. Ali Imran: 185)

Siapapun kita pasti akan menjumpai kematian. Hanya menunggu waktunya saja. Dan sekarang kita sedang dalam antrian menunggu waktu itu. Kemana kita hendak lari?!

قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ

Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu (QS. Al-Jumu’ah: 8)

Kemana kita akan berlindung?! dalam benteng yang kokoh?! dalam banker baja?!

أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِككُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنتُمْ فِي بُرُوجٍ مُّشَيَّدَةٍ ۗ

Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh (QS. An-Nisa’: 78)

Tidak ada, hampir sama dan jauh lebih mengerikan daripada saat kita terjebak dalam macet yang panjang di jalan tol. Tidak ubahnya pula dengan sapi-sapi itu. “Kapan datang waktu itu? Dimakah aku akan meregang nyawa? Yang pasti, waktu itu pasti datang…”

Tidak lama, sebab anggaplah kita hidup sampai tua. Tapi, seberapa lamakah? Rasulullah bersabda:

 أَعْمَارُ أُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِينَ ، وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ

“Umur umatku antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun. Sedikit sekali yang lebih dari itu.” (HR. Ibnu Majah: 4236, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah: 757)

Lamakah enam atau tujuh puluh tahun itu?! Silahkan tanya pada nenek kakek kita. Pasti mereka menjawab “Tidak.” Banyak di antara kakek yang akan mengatakan bahwa baru kemarin rasanya ia lulus SMA, kuliah dan kemudian bekerja, lalu bertemu dengan nenek.

Kita sendiri pun merasakannya. Bukankah baru kemarin rasanya kita bermain lempar batu, petak umpet, mobil-mobilan, bersama teman-teman komplek. Dan sekarang, kita yang malah menyaksikan anak atau bahkan cucu di posisi itu.

INGAT JANGAN LUPA

Jadi, begitulah kira-kira kehidupan kita. Sama seperti tatkala kita berada dalam antrian panjang macet yang melelahkan. Tak ubahnya pula dengan kondisi sapi di rumah-rumah jagal.  

Oleh sebab itu, ingatlah ini selalu. Camkanlah dalam diri kita bahwa kita sedang dalam antrian menunggu kematian.
Sering-seringlah mengingat kematian itu agar kita sadar diri dan paham untuk apa kita hidup di dunia ini, serta perkara apa yang menunggu setelah kematian itu tiba.

Rasulullah bersabda:

أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِي الْمَوْتَ

“Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan yaitu kematian.” (HR. Tirmidzi: 2307,dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 3333)

Ujung Aspal, 28 Dzul Qo’dah 1438H
Zahir al-Minangkabawi

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !