NASEHAT UNTUKKU DAN KAMU, PARA PENUNTUT ILMU (Art.Salayok112)

Imam Bukhari menyebutkan secara mu’allaq dalam Shahihnya Kitabul Ilmi Bab: Al-Haya’ fil Ilmi, sebuah atsar dari Mujahid rahimahullah, ia mengatakan:

لَا يَتَعَلَّمُ العِلْمَ مُسْتَحْي وَلَا مُسْتَكْبِر
“Tidak akan mendapatkan ilmu seorang yang pemalu dan seorang yang sombong.” (Shahih Bukhari hal: 34, cet. Darus Salam, Riyadh)
Malu dan tidak percaya diri dengan kemampuan diri sendiri adalah salah satu penyakit yang akan menjadikan seorang gagal memperoleh ilmu.
Malu adalah tabiat kita semua, namun apabila malu tersebut mengahalangi kita dari mempelajari agama maka itu adalah malu yang tidak pada tempatnya dan malu yang tercela. Oleh sebab itulah, salah satu kelebihan para wanita Anshar, mereka mampu menepis rasa malunya jika hal itu untuk kebaikan, dalam menuntut ilmu. Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu anha pernah menuturkan:
نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ الأَنْصَارِ لَمْ يَمْنَعْهُنَّ الحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّيْنِ

“Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk tafakkuh (mempelajari) agama.” (Shahih Bukhari hal. 34)

Maka dari itu, sebagai seorang yang takkan berhenti belajar agama, kita harus bisa mencampakkan sifat malu dan tidak percaya diri ini. Tidak perlu minder dengan orang lain. Kita ini belajar agama dan belajar agama itu adalah ibadah.

Tidak perlu silau dengan kehebatan orang lain. Mungkin saja dia telah lama belajar sedangkan bisa baru memulai. Bisa jadi ketika dahulu dia berada pada posisi kita saat ini dia juga merasakan hal yang sama. Teruslah sajalah berjalan jangan hiraukan kehebatan orang lain, sudah lupakah kita dengan ucapan Aisyah radhiyallahu anha yang mengatakan:

إِذَا أَعْجَبَكَ حُسْنُ عَمَلِ امْرِئٍ فَقُلْ {اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ} وَلَا يَسْتَخِفَّنَّكَ أَحَدٌ
“Apabila bagusnya amal seorang membuatmu takjub, maka katakanlah (Beramallah kalian, maka Allah akan melihat amalan kalian kemudian Rasul-Nya, orang-orang yang beriman) dan janganlah ada seorang pun membuatmu merasa rendah diri.” (Riwayat Al-Bukhari: 7529)
Dan ingat juga, bahwa ketika melihat orang yang memiliki kelebihan, jangan lihat “hasilnya” saat ini, tapi lihatlah perjuangan mereka sebelumnya. Imam Bukhari adalah imam besar tapi lihatlah usahanya untuk menggapai kemulian itu. al-Khatib al-Baghdadi menuturkan:
كَانَ الإِمَامُ البُخَارِيُّ يَقُوْمُ فِيْ اللَّيْلَةِ الوَحِدَةِ مَا يَقْرُبُ مِنْ عِشْرِيْنَ مَرَّةً لِتَدْوِيْنِ حَدِيْثٍ أَوْ فِكْرَةٍ طَرَأَتْ عَلَيْهِ
“Dahulu Imam Bukhari terbangun dalam satu malam sampai dua puluh kali untuk menulis hadist atau ide yang terlintas secara tak sengaja olehnya.” (Mausua’ah Nadhratin Na’im: 3007)
Demikian juga dengan Imam ath-Thabarani, yang memiliki karya tulis yang banyak, tatkala ditanya bagaimana ia bisa malakukan hal itu, ia menjawab:
كُنْتُ أَنَامُ عَلَى الحَصِيْرِ ثَلَاثِيْنَ سَنَةً
“Aku tidur hanya di atas tikar jerami selama 30 tahun.” (ar-Rihlah fi Thalabil Hadits: 220-221, Mausu’ah Nadhratin Na’im: 3007)
Demikian juga dengan Imam Amir bin Syarahil asy-Sya’bi.
قِيْلَ لِلشَّعْبِيِّ: مِنْ أَيْنَ لَكَ كُلُّ هَذَا العِلْمِ؟ قَالَ: بِنَفْيِ الاغْتِمَامِ، وَالسَّيْرِ فِي البِلاَدِ، وَصَبْرٍ كَصَبْرِ الحَمَامِ، وَبُكُوْرٍ كَبُكُوْرِ الغُرَابِ.
 
Pernah ditanyakan kepada Imam asy-Sya’bi: “Dari mana engkau memperoleh semua ilmu ini?” Ia menjawab: “Dengan membuang kesedihan, berkelana di berbagai negeri, bersabar seperti sabarnya merpati dan berpagi-pagi seperti burung gagak.” (Siyar A’lam an-Nubala’ 7/333-334)
“Kesungguhan,” itulah kata kuncinya. Bukankah pada dasarnya kita sama, sebagaimana Firman Allah:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS. An-Nahl: 78)
Kita sama-sama dilahirkan dalam keadaan telanjang dan tidak tahu apa-apa. Imam Bukhari ketika lahir juga tidak hafal al-qur’an atau hadits-hadits. Tapi dengan “kesungguhan” sehingga beliau menjadi ulama. Begitu juga dengan para ulama yang lain.
Oleh sebab itu, sebagai nasehat bagi kita semua, marilah kita terus belajar agama sampai menutup mata. Siapapun kita, berapa pun umur kita saat ini, sekecil apa pun kemampuan kita, jangan sampai membuat kita lelah lantas kemudian merasa malu dan risih.
Ingat, bahwa Allah melihat semua yang kita lakukan. Ilmu itu adalah cahaya Allah yang diberikan kepada orang-orang yang dikehendakinya, maka bersungguh-sungguhlah dalam menggapainya. Allah tahu siapa diantara kita yang memang jujur terhadap-Nya. Zahir al-Minangkabawi

 

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !