SEPERTINYA KURANG GARAM (Art.Refleksi Hikmah)
Bila ada kesempatan, pergilah ke restoran-restoran besar atau tempat makan yang terkenal dengan masakannya yang lezat. Perhatikanlah apa yang dikatakan orang-orang saat memuji makanan tersebut. Pasti yang akan terdengar: “Luar biasa, nikmat sekali makanan ini. Dagingnya lembut, irisannya menarik, warnanya pun cantik,” “Lezat,” “Sempurna,” atau ucapan-ucapan semisal yang tidak jauh-jauh dari itu. Nyaris tidak ada orang yang mengatakan: “Mantap sekali garam makanan ini,” atau “Garamnya pas,” atau kata-kata lain yang menunjukkan bahwa garam punya andil besar menjadikan makanan itu menjadi nikmat.
Itulah nasib garam. Tersingkirkan oleh daging, ikan, sayur dan bahan-bahan lain. Terlupakan saat suka, baru teringat saat tiada. Ketika garam lupa dimasukkan, atau takarannya kurang, makanan menjadi tidak enak, hambar, barulah ada yang menyebut-nyebut garam; “Makanan ini tak seperti biasanya. Ada yang kurang. Sepertinya kurang garam,” “Saya rasa kokinya lupa memasukkan garam,” “Coba jika seandainya garamnya ditambah sedikit lagi, pasti jadi lebih nikmat,” dan semisalnya.
Di sekolah saya, ada seorang petugas kebersihan. Tugasnya adalah memastikan semua sampah bersih, dibuang ke tempat pembuangan sampah umum yang berjarak 200 meter dari lingkungan sekolah. Sudah tua, mungkin usianya sudah lebih dari 50 tahun. Tapi beliau masih terlihat bersemangat. Jika ada pembicaraan dengan topik “orang penting di sekolah”, saya berani memastikan beliau tidak pernah disebutkan. Kalah pamor dengan ketua yayasan, mudir, lajnah ta’lim, kepala sekolah, kesantrian, dst.
Suatu ketika beliau sakit, terbaring di tempat tidur lusuhnya. Jangankan mengangkat sampah, mengangkat tubuh kurusnya saja sulit. Sakit telah menambah lemah tubuhnya yang sudah ringkih itu.
Hampir satu pekan beliau sakit. Sementara itu sampah bertumpuk-tumpuk dan berserakan. Keranjang sampah sudah tidak cukup lagi menampung. Sekolah kumuh, aroma busuk mulai keluar dan tercium oleh siapa saja yang lewat dekat tong-tong sampah. Bahkan di sebagian tong sampah terlihat belatung-belatung. Bergerak-gerak menjijikkan.
Saat keadaan seperti itu, barulah orang-orang merasa kehilangan bapak tua tadi. Mulai ada yang bertanya; Bagaimana keadaannya? Apa yang menimpa? Sakit apa? Sudah berapa lama? Sekarang di mana? Padahal selama ini terlupakan begitu saja.
Di kehidupan ini banyak hal yang demikian. Garam dan pak tua itu hanyalah dua contoh dari sekian banyak hal yang sering terlupakan dan tersisihkan. Sesuatu yang tidak disadari keberadaannya, tidak dirasakan kehadirannya. Seolah tidak penting dan tak berjasa. Ketika ia sudah tiada baru banyak pihak yang merasa kehilangan.
Memang begitulah manusia. Yang terlihat oleh mereka sering kali hanya sesuatu yang kasat mata. Sesuatu yang muncul ke permukaan. Tembok yang kokoh, yang terlihat hanya cat dan teksturnya saja. Mereka puji dan banding-bandingkan. Sedangkan besi yang ada di dalamnya terlupakan.
Tapi kita tak hendak membicarakan manusia biarlah mereka begitu. Yang ingin kita bicarakan adalah bagaimana jika seandainya takdir mengantarkan kita menjadi garam atau pak tua itu. Apa kira-kira yang akan kita lakukan? Berkecil hati, rendah diri, kemudian duduk termenung menyesali nasib dan mengupati takdir? Atau merasa biasa-biasa saja lantas bekerja dengan semangat yang biasa-biasa pula?
Jika kita memperhatikan ajaran Islam, mengkaji, dan merenungkan, pasti tak seorang pun di antara kita yang akan berputus asa, merasa rendah diri walau ia hanyalah garam atau seorang petugas kebersihan.
Saya bukanlah orang yang ahli dalam hal itu. Pengetahuan saya tentang ajaran Islam pun boleh dikatakan baru kulitnya saja. Namun ada beberapa hal yang saya dengar dari orang-orang tua dan bapak-bapak kiai berkaitan dengan hal ini.
Pertama, tidak selayaknya seorang merasa mulia dengan kedudukannya yang tinggi, posisi penting yang ia tempati, dan merasa hina dengan ketidaktenaran dirinya, pekerjaannya yang rendah dan biasa-biasa saja. Sebab, itu semua bukanlah tolak ukur kemuliaan di sisi Allah q.
Manusia yang paling mulia di sisi Allah q adalah yang paling bertakwa. Sedangkan takwa rumahnya di dalam hati.
Allah berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sungguh, yang paling mulia di antara kamu ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. al-Hujurat: 13)
Sekarang, siapa yang menjamin bahwa orang yang terkenal itu adalah orang yang takwa sedangkan “garam” tidak? Siapa pula yang mengatakan bahwa takwa itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang besar saja sedangkan petugas kebersihan tidak?
Semua manusia, siapa pun ia, berkesempatan menjadi manusia yang mulia di sisi Allah q asalkan ia mau mengusahakan ketakwaan dalam dirinya.
Kedua, sesungguhnya Allah tidak melihat posisi seseorang. Apakah dia seorang jenderal, panglima, manager perusahaan, ketua yayasan, kepala sekolah, atau prajurit biasa, karyawan rendahan, buruh kasar, cleaning service, tukang sampah, dll. Yang dilihat oleh Allah q adalah amalan masing-masing.
Allah berfirman:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ
“Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu maka Allah akan melihat pekerjaanmu begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin.” (QS. at-Taubah: 105)
Dan perlu diingat, Allah Mahakuasa. Tidak menutup kemungkinan pekerjaan besar menjadi kecil di sisi-Nya, sedangkan pekerjaan kecil menjadi besar.
Oleh sebab itu, kita tidak boleh rendah diri ketika orang lain terlihat sukses, disanjung dan dipuja banyak orang, sedangkan kita tidak. Jangan! Tidak perlu silau dengan kesuksesan orang lain. Setiap orang punya jalan masing-masing.
‘Aisyah pernah mengatakan:
إِذَا أَعْجَبَكَ حُسْنُ عَمَلِ امْرِئٍ فَقُلْ {اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ} وَلَا يَسْتَخِفَّنَّكَ أَحَدٌ
“Seandainya engkau takjub dengan eloknya pekerjaan seseorang maka katakanlah: ‘Bekerjalah kamu maka Allah akan melihat pekerjaanmu begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin,’ jangan pernah engkau merasa kecil.” (HR. al-Bukhari: 7529)
Ketiga, berangkat dari dua hal di atas, maka sekarang tinggal berupaya meningkatkan ketakwaan dan memperbaiki amalan. Bersemangat dalam melangkah, berjalan dengan kepala mendongak, tidak tertunduk. Apa peduli kita dengan pujian manusia. Biarlah kita tidak dianggap dan direndahkan. Dengan ketakwaan, mudah-mudahan kita punya nama di sisi Allah.
Inilah Uweis al-Qarni dan Julaibib. Meski tak seorang pun yang menganggap dirinya istimewa, tidak dikenal penduduk bumi, namun namanya harum di kalangan penduduk langit. Julaibib saat gugur di medan perang, tidak ada yang merasa kehilangannya selain satu orang saja. Namun satu orang itu sudah cukup. Karena yang kehilangan itu tidak lain adalah Rasulullah Wallahul muwaffiq.