Dua Syarat Diterimanya Ibadah

Diriwayatkan dari Fudhail bin Iyadh rahimahullah ketika menafsirkan firman Allah berikut:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al-Mulk: 1-2)

“’Yang paling baik‘” adalah yang paling ikhlas dan shawab. Sebuah amalan tidak akan diterima kecuali dengan ikhlas dan shawab. Ikhlas apabila untuk Allah semata dan shawab apabila sesuai sunnah (tuntunan Rasulullah).” (Jamiul Ulumi  wal Hikam: 19 cet. Darul Aqidah)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan:

فإن للعمل المتقبل شرطين: أحدهما أن يكون خالصا لله وحده، الآخر أن يكون صوابا موافقا للشريعة، فمتى كان خالصا ولم يكن صوابا لم يتقبل

“Sesungguhnya untuk amalan yang diterima ada dua syarat; Pertama, ikhlas hanya untuk Allah semata. Kedua, amalannya harus shawab dan sesuai dengan tuntunan syariat. Apabila sebuah amalan itu ikhlash namun tidak shawab (mengikuti tuntunan) maka tidak akan diterima.” (Tafsir Ibnu Katsir: 1/231, Ilmu Ushul al-Bida’: 62)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, sebagian salafush shalih terdahulu berkata:

ما من فعلة وإن صغرت إلا ينشر لها ديوانان، لما؟ و كيف؟ أي: لما فعلت؟ وكيف فعلت؟

“Tidak ada satu amalan pun meski pun kecil melainkan dipaparkan kepadanya dua diwan (pertanyaan) yaitu Untuk apa? dan Bagaimana? maksudnya untuk apa kamu melakukannya? dan bagaimana kamu melakukannya?” (Ilmu Ushul al-Bida’: 61)

Pertanyaan pertama untuk niat dari amalan tersebut apakah untuk Allah atau untuk bukan, jika untuk Allah berarti syarat pertama terpenuhi jika tidak maka tidak. Sedang pertanyaan kedua yaitu bagaimana tata cara engkau melakukannya, jika sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka syarat kedua terpenuhi, jika tidak maka tidak.

Kedua syarat yang disebutkan oleh para ulama tersebut dibangun di atas dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya:

Pertama adalah ikhlas, Allah berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus. (QS. Al-Bayyinah: 5)

Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya setiap amalan itu bergantung pada niatnya.” (HR. Al-Bukhori no.1 dan Muslim no.1907)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah tabaraka wa ta’ala berfirman:

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

Aku adalah Dzar yang paling tidak memerlukan sekutu, barangsiapa melakukan suatu amalan dengan menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku meninggalkannya dan sekutunya’.” (HR. Muslim: 2985)

Kedua adalah mutaba’ah yaitu mengikuti tuntunan atau tata cara ibadah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau pernah bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa mengamalkan suatu perkara yang tidak kami perintahkan, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim: 1718)

Oleh sebab itu, jika amalan tidak memenuhi dua syarat ini maka ia tidak akan diterima Allah, ia tak ubahnya pasir kerikil yang dimasukkan ke dalam tas musafir. Justru memberatkan dan memudharatkan dirinya sendiri. Oleh sebab itu, ketika beramal ibadah hendaknya kita memperhatikan dua syarat ini. Jangan pernah mau mengisi tas perbekalan kita dengan pasir batu.

Baca juga artikel berikut:

Wallahu a’lam #faidah singkat
Selesai disusun di rumah mertua tercinta Jatimurni Bekasi, Kamis, 10 Rabiul Awal 1441/ 7 Nov 2019

Zahir Al-Minangkabawi

Follow fanpage maribaraja KLIK

Instagram @maribarajacom

Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja atau dapatkan broadcast artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda  di admin berikut KLIK

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
0
    0
    Your Cart
    Your cart is emptyReturn to Shop
    WhatsApp Yuk Gabung !