JANGAN CELA MASA


Buya  HAMKA pernah mengatakan:
“Di dalam syair-syair Arab, dalam pusaka 1.000 tahun yang telah lalu, terdapat syair-syair yang nadanya menyesali zaman itu. Hal itu menandakan bahwa menyesali zaman ialah penyakit manusia pada tiap-tiap zaman. Mereka menyesali zamannya dan memuji zaman yang telah lalu. Kita yang seribu tahun di belakang menyesali zaman kita dan mengingat-ngingat zaman yang dikutuki oleh orang yang hidup di zaman itu pula. Demikianlah berturut-turut, orang mengutuki zamannya. Padahal, zaman tak bersalah, melainkan manusia sendiri yang bersalah” (Falsafah Hidup hal: 196-197)
 SELALU BERKELUH KESAH
Manusia diciptakan dengan beragam sifat dan karakter. Ada yang baik dan ada juga yang buruk. Sifat dasar ini dapat berubah. Sifat dasar baik, bisa menjadi lebih baik atau bisa juga hilang, berganti dengan sifat jelek. Begitu juga sifat dasar yang buruk, bisa diubah menjadi baik atau bisa juga malah tambah buruk.
Di antara sifat buruk manusia adalah sering berkeluh kesah dan tidak pernah merasa puas. Bahkan dalam setiap kondisi, baik saat lapang maupun saat sempit.
Allah berfirman: 
إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا (١٩) إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا  (٢٠) وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا
Sungguh, manusia diciptakan bersifat keluh kesah. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah. Bila mendapatkan kebaikan ia menjadi bakhil” (QS. al-Ma’arij: 19-21)
Dari watak suka berkeluh kesah ini, muncul satu sifat yang amat tercela yaitu sifat suka mencela. Jika dicermati, nyaris tidak ada yang lepas dari celaan manusia. Mulai dari hal sepele sampai hal yang besar.
Di antara yang sering dicela manusia adalah zaman. Mereka memperlakukan zaman seolah zamanlah yang menjadi sebab dari segala ketidaknyamanan hidup. Pergantian hari, bulan, tahun, cuaca, iklim, suasana, dst, selalu disertai dengan celaan. Baik dengan terang-terangan maupun dengan indikasi.
Di setiap generasi, ada saja orang yang mengutuki zamannya. Dia tidak puas dengan zamannya itu. Orang-orang yang hidup sekarang mencela zamannya, lalu menyanjung zaman yang lalu. Padahal zaman yang lalu itu pun dicela oleh orang-orang yang hidup di zaman itu. Sehingga, tidak ada satu zaman pun yang kosong dari celaan.
SEORANG MUSLIM TIDAK PANTAS MENCELA ZAMAN
Sebagai seorang muslim, kita harus mengetahui bahwa mencela zaman adalah suatu yang terlarang dan tidak layak, baik secara syariat maupun secara akal sehat.
Di antara yang menunjukkan hal di atas adalah:
1. MENCELA ZAMAN SAMA DENGAN MENCELA ALLAH
Saat seorang menghina satu makanan karena makanan tersebut tidak enak misalnya, pada hakikatnya ia sedang menghina tukang masaknya. Meskipun dia tidak mengungkapkannya. Begitu pula ketika seorang mencela zaman, pada dasarnya dia sedang mencela yang menciptakan zaman tersebut. Berarti, sadar atau tidak, dia sedang mencela Allah q. Oleh sebab itu, Allah q akan tersakiti jika ada hambanya yang mencela zaman atau masa.
Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ بِيَدِي الْأَمْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
“Allah berfirman: ’Anak Adam telah menyakiti-Ku. Ia mencela masa padahal Akulah (yang menciptakan) masa. di tangan-Ku segala urusan, Akulah yang membolak-balikan malam dan siang’.” (HR. Bukhari 4826, Muslim 2246)
2. MENCELA ZAMAN ADALAH PERBUATAN JAHILIYYAH
Allah  berfirman:
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّون
Dan mereka berkata: ’kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.’ Tetapi mereka tidak mempunyai ilmu tentang itu, mereka hanyalah menduga-duga saja.” (QS. al-Jatsiyah 24)
Ibnu Jarir menyebutkan sebuah riwayat, bahwa Nabi bersabda:
Orang-orang jahiliyyah dahulu mengatakan: ‘Yang membinasakan kita hanyalah malam dan siang. Itulah yang membinasakan kita, mematikan serta menghidupkan kita.’ Maka Allah berfirman: “Dan mereka berkata….(Al-Jatsiyah 24) (Jami’ul Bayan fi Ta’wili Ayil Qur’an: 22/79)
3. MENCELA ZAMAN TIDAK MERUBAH KEADAAN
Jika direnungkan lebih dalam,  mencela zaman adalah perbuatan yang sia-sia. Celaan tidak akan mengubah keadaan sedikit pun. Bahkan justru menambah sesak dada. Udara tidak akan berubah jadi dingin ketika kita mencelanya karena panas. Hari-hari takkan kembali saat kita mengeluhkannya karena cepatnya ia berlalu. Lantas apa gunanya celaan itu?
Al-Mu’afa bin Sulaiman pernah berjalan kaki bersama seorang temannya. Lalu temannya itu bergumam: “Dingin sekali hari ini?!”
“Apakah kau sudah merasa hangat sekarang?” sahut Al-Mu’afa
“Tidak,” jawabnya.
Al-Mu’afa berkata: ”Jadi apa gunanya memaki?! Seandainya engkau membaca tasbih, pasti lebih baik. (Istamti’ Bihayatik hal. 244)
  
HUKUM MENCELA ZAMAN
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menerangkan secara rinci hukum mencela zaman. Beliau mengatakan:
“Mencela masa/zaman ada tiga kategori:
Pertama, bila yang dimaksud adalah sebagai berita belaka bukan maksud mencela, maka hukumnya boleh. Seperti perkataan seorang, ‘Cuaca panas hari ini membuat kita letih’, atau disebabkan cuaca yang dingin, dan semisalnya karena semua perbuatan tergantung kepada niatnya sementara lafazh tersebut boleh diungkapkan bila hanya sekadar berita.
Kedua, seseorang mencela zaman karena beranggapan bahwa ia adalah pelaku sesuatu, seperti bila yang dimaksudkannya dengan celaan itu, bahwa zaman itulah yang merubah kondisi menjadi baik atau jelek. Maka, ini adalah perbuatan syirik yang paling besar. Sebab, orang tersebut telah berkeyakinan ada Khaliq lain yang sejajar dengan Allah. Artinya, dia telah menyandarkan kejadian-kejadian kepada selain Allah.
Ketiga, seorang mencela zaman dengan keyakinannya bahwa pelaku sesuatu itu adalah Allah. Akan tetapi, dia mencelanya karena ia adalah wadah bagi semua hal-hal yang tidak disukai. Maka, ini haram hukumnya karena menafikan wajibnya bersabar. Jadi, perbuatan ini bukan kekufuran karena orang tersebut tidak mencela Allah secara langsung. Andai kata, dia mencela Allah q secara langsung, maka pastilah dia telah kafir hukumnya” (Fatwa-fatwa Terkini 1/33)
Terakhir hendaklah kita jangan sampai mencela masa. Karena masa atau zaman  hanyalah satu di antara makhluk-makhluk Allah. Bagaimana pun kondisi suatu zaman hadapi dengan sabar. Jangan salahkan zaman, tetapi salahkanlah diri sendiri. Wallahu A’lam.

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !