MINTA GARAM

Kita semua adalah hamba, siapa pun kita. Apa yang kita miliki pada hakikatnya adalah pinjaman, boleh pakai tidak untuk dimiliki. Rumah kita, meski tertulis atas nama kita pada sertifikat, tapi itu hanya hukum dunia saja, sejatinya itu pun hanya hak pakai. Nanti, rumah itu harus dipertanggung jawabkan. Halalnya dihisab dan haramnya di adzab.

Sebagai seorang hamba, kita tak punya apa-apa. Kita miskin, lemah dan tak berdaya. Hidup kita sepenuhnya bergantung kepada Allah. Oleh sebab itulah inti dari ibadah adalah menunjukkan penghambaan serta kehinaan diri di hadapan Allah. Memperlihatkan kemiskinan serta rasa butuh kita kepada-Nya.

Sekarang pertanyaannya, sudahkah hal itu ada pada diri kita? Seberapa butuhkah kita kepada Allah? Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لِيَسْأَلْ أَحَدُكُمْ رَبَّهُ حَاجَتَهُ كُلَّهَا حَتَّى يَسْأَلَ شِسْعَ نَعْلِهِ إِذَا انْقَطَعَ

“Hendaklah setiap kalian meminta kepada Rabbnya semua kebutuhannya, sampai-sampai tali sandalnya yang putus.” (HR. Ibnu Hibban:894, Tirmidzi: 8/3604, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Misykah: 29)

Pernahkah kita meminta tali sandal kepada Allah? Jika kita membaca kisah hidup salafush shalih maka kita akan sangat malu. Bukan karena apa-apa, tapi karena mereka benar-benar menerapkan sabda itu dalam hidup mereka. Imam Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan:

وَ كَانَ بَعضُ السَّلَفِ يَسأَلُ اللَّهَ فِي صَلَاتِهِ كُلَّ حَوَائِجِهِ حَتَّى مِلحَ عَجِينِهِ وَ عَلَفَ شَاتِهِ

“Dahulu ada diantara salaf itu yang meminta kepada Allah (berdo’a) dalam shalatnya segala kebutuhan hidupnya sampai pun garam untuk adonan dan pakan kambingnya.” (Jami’ul ulum wal hikam: 302)

Subhanallah, begitu besarnya ketergantungan mereka kepada Allah. Pantas mereka menjadi orang-orang terbaik yang pernah hidup di muka bumi ini. Adapun kita sudahkah kita seperti itu; meminta segalanya kepada Allah subhanahu wata’ala. Pernahkah kita meminta “garam” dalam do’a shalat kita?!

Oleh sebab itu, mulai saat ini mari menanam dan memupuk rasa itu yaitu ketergantungan kepada Allah. Kita tunjukkan kehinaan, kefakiran dan kebutuhan kita kepada-Nya. Meminta segalanya, meski itu hanya tali sandal, makanan kambing ataupun minta garam.

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
0
    0
    Your Cart
    Your cart is emptyReturn to Shop
    WhatsApp Yuk Gabung !