CUKUPLAH ADZAN

Kumandang adzan yang saling bersahutan di lima waktu dalam sehari-semalam adalah nikmat yang layak untuk disyukuri. Kenapa tidak? sedangkan dibelahan bumi lain adzan adalah barang langka, bahkan di beberapa tempat, adzan merupakan sesuatu yang terlarang. Mengumandangkannya dengan pengeras suara adalah sebuah bentuk pelanggaran. 
Jika jujur, kita akan mengatakan bahwa adzan bisa membuat hati menjadi lapang, perasaan menjadi tenang, kecuali bagi mereka yang hatinya tengah bermasalah. Ketika mendengar lantunan adzan dari berbagai penjuru, ada kebahagiaan tersendiri. Perasaan gembira ternyata kita masih bisa tinggal di negeri kaum muslimin.
Mungkin di antara kita jarang merasakannya atau bahkan tidak pernah. Tapi banyak saudara-saudara kita yang bermukim di daerah-daerah yang mayoritas nonislam merasakannya. Merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Hari-hari berlalu begitu saja, lenggang, hambar dan hampa, seolah tidak ada rasa dan warna. Karena suara adzan tidak terdengar di telinga mereka.
Sebagai seorang santri, kita lebih pantas berbahagia. Karena kita lebih tahu hakekat adzan yang sebenarnya, dari siapa seruan itu dan untuk siapa?. Kita lebih mengenal adzan daripada kaum muslimin pada umumnya, karena setiap hari kita bergesekkan dengan seluk beluk serta perinciannya.
Namun saat ini apakah benar adzan itu membuat kita bahagia?, sehingga kita bisa menjadikannya bagian dari hidup. Banyak diantara kita sekarang yang seolah mati rasa. Tidak bergeming sedikit pun ketika mendengar suara adzan. Lantunan adzan tak ubahnya seperti desiran angin dan kicauan burung atau suara-suara alam lainnya. Berlalu begitu saja tanpa bekas bagi pendengarnya.
Seorang santri yang cerdas dan bijak tentu mampu menjadikan kumandang adzan menjadi bagian dari hidupnya yang tidak terpisahkan. Adzan adalah pembantunya dalam menjaga waktu. Sebut saja misalnya dalam hal bangun tidur. Ia tidak butuh orang lain untuk membangunkannya, tidak perlu jam weker untuk mengejutkannya. Sudah cukup dengan kumandang adzan , tidak perlu yang lainnya.
Ketika suara adzan masuk ke lorong telinga, ia terbangun dari tidurnya. Tanpa menunggu waktu lama untuk bercerai dengan kasur empuknya. Dilangkahkan kakinya memenuhi seruan adzan meskipun masih terasa berat, karena dia tahu bahwa seruan itu adalah dari Rabbnya. 
Abu Zaid al-Minangkabawi

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !