Ushul Tsalatsah – Pokok Kedua: Mengenal Agama Islam
Pada bagian ini Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah memaparkan tentang makna dari agama Islam.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan:
الأصل الثاني : معرفة دين الإسلام بالأدلة وهو الاستسلام له بالتوحيد، والانقياد له بالطاعة، والبراءة من الشرك وأهله
Pokok yang kedua: Mengenal agama Islam dengan dalil-dalilnya. Islam yaitu berserah diri kepada Allah dengan tauhid, tunduk kepadanya dengan keta’atan dan berlepas diri dari kesyirikan serta pelakunya.
❀•◎•❀
Makna Ad-Din
Syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan: Ad-Din maksudnya adalah ketaatan. Dan dimutlakkan penyebutan kata Ad-Din maksudnya adalah hisab sebagaimana dalam firman-Nya:
مالك يوم الدين
Yang menguasai hari pembalasan. (QS. Al-Fatihah: 4)
Dan sebagaimana firman Allah:
وَمَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ ، ثُمَّ مَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ
Tahukah kamu apakah hari ad-din itu? Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari ad-din itu?
Maksudnya adalah hari perhitungan.
(Allah berfirman setelahnya):
يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِّنَفْسٍ شَيْئًا ۖ وَالْأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِّلَّهِ
(Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah. (QS. Al-Infithar: 17-18) (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah: 124)
Islam adalah agama dalil
Agama Islam adalah agama dalil, artinya semua perkara agama harus berasal dari bimbingan wahyu, bukan akal semata dan bukan pula ikut-ikutan (taqlid). Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
“Telah aku tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Malik: 1395, Shahihul Jami’: 2937)
Dibolehkan taklid hanya ketika keadaan darurat, sama halnya dengan makan dibolehkannya makan bangkai dalam keadaan darurat. Saat kondisinya tidak darurat lagi maka tidak boleh. Bolehnya taklid ini ketika darurat karena Allah berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. (QS. Al-Anbiya’: 7)
Islam memang menyuruh menggunakan akal, akan tetapi bukan berarti semua perkara agama dibagun di atas dasar akal semata, tetap harus berada dibawah bimbingan wahyu.
Imam Abu Dawud dan yang lainnya menyebutkan sebuah riwayat dari Ali bin Abi Thalib, ia mengatakan:
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.
“Kalau seandainya agama ini dibangun berdasarkan akal, maka sungguh bagian bawah sepatu lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Akan tetapi aku melihat Rasulullah mengusap bagian atas dari kedua sepatunya.” (HR. Abu Dawud: 162, Shahih Abi Dawud: 153)
Agama bukan akal, makanya Umar bin Khaththab pernah mengatakan ketika mencium Hajar Aswad:
وَاللَّهِ إِنِّى لأُقَبِّلُكَ وَإِنِّى أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ وَأَنَّكَ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَبَّلَكَ مَا قَبَّلْتُكَ
“Demi Allah aku menciummu padahal aku sangat tahu bahwa engkau hanyalah sebongkah batu yang tidak bisa memberi manfaat atau mudharat. Kalaulah bukan karena aku pernah melihat Rasulullah menciummu, aku tidak akan menciummu.” (HR Bukhari: 1532, Muslim: 1270)
Anda tidak tercela karena menggunakan akal, bahkan itu disyariatkan. Yang tercela adalah saat Anda menjadikannya segala-galanya, lebih mendahulukannya dari wahyu Allah dan sabda Rasul-Nya.
Kritislah beragama karena jalan kesesatan lebih banyak
Kebutuhan terhadap bimbingan dalil semakin besar di zaman kita, karena salah satu sunnatullah sekaligus pertanda akhir zaman, akan terjadi perselisihan dan perpecahan pada umat Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا
“Sesungguhnya siapa dari kalian yang hidup setelahku, niscaya akan menyaksikan (mendapati) perselisihan yang banyak.” (HR. Abu Dawud: 4609 dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah no. 42)
Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِى النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِى الْجَنَّةِ وَهِىَ الْجَمَاعَةُ
“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari kalangan ahlul kitab berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan sesungguhnya agama ini (Islam) akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga, tujuh puluh dua akan masuk neraka, hanya satu yang akan masuk surga dan itulah al-Jama’ah.” (HR. Abu Dawud: 4599 dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah: 1/358)
Sebagian ulama mengatakan bahwa pokok (gembong) dari kelompok-kelompok sesat itu ada enam yaitu: al-Haruriyyah, al-Qadariyyah, al-Jahmiyyah, al-Murji’ah, ar-Rafidhah, al-Jabriyyah. Setiap kelompok kemudian terpecah menjadi dua belas sehingga semuanya berjumlah tujuh puluh dua. (Lihat al-Muntaqa an-Nafis min Talbis Iblis hal. 41)
Al-Imam Ahmad menyebutkan dalam Musnadnya sebuah hadits yang menunjukkan bahwa jalan kesesatan itu lebih banyak daripada jalan keselamatan. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, ia menuturkan:
خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا،ثُمَّ قَالَ: هَذَا سَبِيلُ اللهِ، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ، ثُمَّ قَالَ: هَذِهِ سُبُلٌ – قَالَ يَزِيدُ: مُتَفَرِّقَةٌ – عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ: وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ ، فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
“Rasulullah pernah membuat sebuah garis untuk kami lalu bersabda: ‘Inilah jalan Allah.’ Kemudian beliau membuat beberapa garis di kanan dan kirinya lalu bersabda: ‘Inilah jalan-jalan -Yazid (salah seorang perawi) berkata: yang berserakan- setiap jalan tersebut terdapat setan yang mengajak kepadanya.’ Kemudian beliau membaca firman Allah: “Dan inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya.(QS. al-An’am: 153).” (HR. Ahmad:4142, dihasankan oleh al-Albani dalam Misykah al-Mashabih: 1/36)
Berangkat dari hadits-hadits di atas, maka seorang muslim pada hari ini dituntut untuk bersikap kritis dalam beragama. Sebab, tanpa kejelian dalam memilih jalan dan metode beragama dapat menjatuhkannya ke salah satu dari sekian banyak jalan dan kelompok sesat yang ada.
Begitu pula seorang yang lahir dan besar dalam lingkungan yang Islami, tidak boleh baginya untuk menerima begitu saja ajaran-ajaran Islam yang ia dapatkan dalam lingkungannya tersebut. Wajib baginya untuk kembali memeriksa apakah ajaran-ajaran tersebut merupakan ajaran Islam yang sesungguhnya ataukah tidak. Sebab semakin kebelakang zaman semakin rusak, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلَّا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ
”Tidaklah datang suatu zaman kepada kalian melainkan zaman yang setelahnya lebih buruk dari sebelumnya.” (HR. Bukhari: 7068)
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:
بَدَأَ الإِسْلامُ غَرِيبًا ، وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا ، فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam bermula dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana ia bermula, maka beruntung orang-orang yang asing.” (HR. Muslim: 145)
Agama Islam akan banyak sampahnya. Ajaran-ajaran yang tidak ada syari’atnya akan bertebaran, dan kemudian dianggap sebagai ajaran agama. Karenanya, tidak ada celaan bagi mereka yang bersikap kritis dalam beragama. Dengan kata lain, seorang yang berlepas diri dari sikap fanatik buta yaitu menerima begitu saja apa yang ia dapatkan dari orang tuanya bukanlah seorang yang salah jalan atau bersikap sombong dan tidak menghormati nenek moyangnya. Bahkan, itulah yang dituntut darinya.
Sebab Islam bukanlah agama yang dibagun di atas rasa fanatik buta, akan tetapi dibagun di atas hujjah (dalil) yang kuat yang bersumber dari dua wahyu ilahi; al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh sebab itu, berikanlah perhatian terhadap cara beragama kita, jangan hanya taklid (mengikuti) orang banyak. Kritislah dalam beragama karena kita hidup di zaman yang keburukannya lebih banyak daripada zaman sebelumnya.
Sifat Seorang Muslim
Penjelasan dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkaitan dengan makna dari agama Islam di atas, sekaligus mengandung patokan kapan seorang dikatakan muslim. Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan:
ولا تعد مسلما حتى تتصف بهذه الصفات: أولا الاستسلام لله بالتوحيد، ثانيا الانقياد له بالطاعة، ثالثا البراءة مما يضاد التوحيد ويضاد الطاعة وهو الشرك، رابعا البراءة من أهل الشرك، بتحقيق هذه الصفات يكون مسلما، أما إذا نقصت صفة واحدة منها، فإنك لا تكون مسلما
Engkau tidak dianggap muslim sampai memiliki sifat-sifat ini: Pertama, berserah diri kepada Allah dengan tauhid. Kedua, tunduk padanya patuh kepada-Nya dengan ketaatan. Ketiga, berlepas diri dari lawan tauhid dan lawan ketaatan yaitu syirik. Keempat, berlepas diri dari pelaku kesyirikan. Dengan merealisasikan sifat-sifat ini engkau akan menjadi seorang muslim. Adapun jika kurang salah satu sifat saja dari sifat-sifat tersebut maka engkau belum menjadi seorang muslim. (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah: 124)
[contact-form][contact-field label=”Name” type=”name” required=”true” /][contact-field label=”Email” type=”email” required=”true” /][contact-field label=”Website” type=”url” /][contact-field label=”Message” type=”textarea” /][/contact-form]Selesai disusun di Jatimurni, Kamis 14 Shafar 1442 H/ 1 Oktober 2020 M
Follow fanpage maribaraja KLIK
Instagram @maribarajacom
Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja atau dapatkan broadcast artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda di admin berikut KLIK