Jagalah Anakmu Dari Api Neraka!!

Kebaikan anak dan keluarga sangat berpengaruh kepada kebaikan masyarakat, dan negara. Oleh karena itulah, agama Islam banyak memberikan perhatian dalam masalah perbaikan keluarga. Di antara perhatian Islam ialah bahwa seorang laki-laki, yang merupakan kepala rumah tangga, harus menjaga diri dan keluarganya dari segala perkara yang akan menghantarkan mereka menuju neraka.

Marilah kita perhatian perintah Allah Yang Mahakuasa berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-Malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. at-Tahrim: 6)

ALLAH ﷻ MEMUJI ORANG YANG BERIMAN

Firman Allah (yang artinya): “Hai orang yang beriman”, maksudnya adalah hamba yang yang dicintai oleh Allah ﷻ.

Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه dan para ulama salaf berkata, “Jika engkau mendengar Allah ﷻ berfirman dalam al-Qur’an, ‘Hai orang-orang yang beriman,’ maka perhatikanlah ayat itu baik-baik dengan telingamu. Karena itu berkenaan dengan kebaikan yang Dia perintahkan kepadamu atau keburukan yang Dia melarangmu darinya.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/80)

KIAT MENJAGA ANAK DARI API NERAKA

Orang yang beriman tidak cukup menjaga dirinya sendiri dari api nereka, tetapi harus menjaga anak dan keluarganya juga, sebagaimana keterangan ayat diatas, yang artinya, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” Jika api di dunia berbahaya bagi diri dan keluarga kita, maka api di akhirat akan jauh lebih berbahaya, karena bahan bakarnya dari manusia dan batu. Tentu akan jauh lebih panas.

Lalu bagaimana kita menjaga diri kita dan anak kita dari api neraka?
Abdullah bin Abbas رضي الله عنه berkata, “Lakukanlah ketaatan kepada Allah dan jagalah dirimu dari kemaksiatan-kemaksiatan kepada-Nya, dan perintahkan keluargamu dengan dzikir, niscaya Allah ﷻ akan menyelamatkanmu dari api neraka.”

Mujahid رحمه الله berkata tentang firman Allah ‘Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka,’ yaitu, “Bertakwalah kepada Allah, dan perintahkan keluargamu agar turut bertakwa kepada Allah ﷻ.”

Qatadah رحمه الله berkata, “(Menjaga keluarga dari neraka adalah dengan) memerintah mereka untuk bertakwa kepada Allah dan melarang dari kemaksiatan kepada-Nya, dan mengatur mereka serta memerintah mereka untuk melaksanakan perintah-Nya, dan membantu mereka untuk melaksanakan perintah Allah. Maka jika engkau melihat suatu kemaksiatan yang merupakan larangan Allah, berarti engkau harus menghentikan dan melarang keluarga(mu) dari kemaksiatan itu.” (Lihat semua riwayat di atas dalam Tafsir Ibnu Katsir, surat at-Tahrim ayat ke-6)

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari رحمه الله berkata, “Allah Yang Mahatinggi berfirman yang artinya; ‘Wahai orang-orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya, ‘Peliharalah dirimu!,’ Yaitu maksudnya, ‘Hendaklah sebagian kamu mengajarkan kepada sebagian yang lain perkara yang dengannya orang yang kamu ajari bisa menjaga diri mereka dari neraka, menolak neraka darinya, jika hal yang diajarkan tersebut diamalkan. Yaitu berupa ketaatan kepada Allah. Dan lakukanlah ketaatan kepada-Nya.’

Firman Allah, ‘dan keluargamu dari api neraka,’ maksudnya, ‘Ajarilah keluargamu dengan melakukan ketaatan kepada Allah yang dengannya akan menjaga diri mereka dari neraka.’ Sungguh para ahli tafsir mengatakan seperti yang kami katakan ini.” (Tafsir ath-Thabari 23/491)

Imam al-Alusi رحمه الله berkata, “Menjaga diri dari neraka adalah dengan meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan dan melaksanakan ketaatan-ketaatan. Sedangkan menjaga keluarga adalah dengan mendorong mereka untuk melakukan hal itu dengan nasihat dan ta’dib (hukuman). Yang dimaksukan dengan keluarga, berdasarkan sebagian pendapat, mencakup: istri, anak, budak lelaki dan budak perempuan.
Ayat ini dijadikan dalil atas kewajiban seorang laki-laki mempelajari kewajiban-kewajiban dan mengajarkannya kepada mereka.” (Tafsir al-Alusi 21/101)

Semakna dengan ayat ini, adalah firman Allah ﷻ:

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ

Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Sedang akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa. (QS. Thaha: 132)

Dan termasuk semakna dengan ayat ini adalah sabda Nabi ﷺ:

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ

“Perintahkanlah anak-anak kalian shalat ketika berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka ketika berumur sepuluh tahun (jika mereka enggan), serta pisahkan mereka di tempat-tempat tidur masing-masing.” (HR. al-Hakim, Ahmad dan Abu Dawud; disahihkan al-Albani dalam al-Irwa’)

Mengajari ibadah kepada anak-anak bukan hanya sebatas shalat, namun juga ibadah-ibadah lainnya. Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata, “Para ahli fikih berkata, ‘Demikian juga (anak-anak dilatih) tentang puasa, agar hal itu menjadi latihan baginya untuk melaksanakan ibadah, supaya dia mencapai dewasa dengan selalu melaksanakan ibadah dan ketaatan, serta menjauhi kemaksiatan dan meninggalkan kemungkaran, dan Allah Yang Memberi taufik.” (Tafsir Ibnu Katsir, QS. at-Tahrim ayat ke-6)

ORANG TUA WAJIB MENDIDIK ANAKNYA

Ayat di atas menjelaskan peran penting orang tua, yaitu harus menjaga dirinya dari perbuatan yang menjerumuskan kepada neraka, sebagaimana keterangan ahli tafsir sebelumnya. Lebih dari itu, orang tua berkewajiban mendidik anaknya, karena orang tua menjadi pemimpin rumah tangga, baik dia sebagai bapak atau ibu. Dan akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hari pembalasan, sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi ﷺ,

كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالأَمِيْرُ رَاعٍ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَّةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّته

“Kalian semua adalah pemimpin dan seluruh kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin. Penguasa adalah pemimpin dan seorang laki-laki adalah pemimpin bagi anggota keluarganya, wanita juga adalah pemimpin atas rumah dan anak suaminya. Sehingga seluruh kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpin.” (HR. Bukahri: 5200)

Dalam hadits di atas, jelaslah Allah ﷻ telah menjadikan setiap orang pemimpin, baik skala bangsa, umat, istri dan anak-anaknya. Setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Ingatlah, tanggung jawab anak dan istri sangat besar di sisi Allah. Hal ini dengan menjaga mereka dari api neraka dan berusaha menggapai kesuksesan di dunia dengan mendapatkan sakinah, mawaddah, rahmat dan di akhirat dengan masuk ke dalam surga. Inilah sesungguhnya target besar yang harus diusahakan untuk diwujudkan oleh setiap keluarga.

Oleh karena itu, Islam memberi perhatian khusus dan menetapkan kaidah yang kokoh dalam pembentukan keluarga muslim. Islam memberikan tatanan lengkap dimulai dari proses pemilihan istri hingga solusi bila rumah tangga tak dapat dipertahankan kembali.

Pembinaan keluarga ini semakin mendesak dan darurat bila melihat keluarga sebagai benteng terakhir kaum muslimin yang sangat diperhatikan para musuh-musuh Islam di luar sana. Mereka berusaha merusak benteng ini dengan berbagai serangan dan sekuat kemampuan mereka. Memang sampai sekarang masih ada yang tetap kokoh bertahan, namun sudah sangat banyak yang gugur dan hancur berantakan.
Demikianlah, para musuh Islam senantiasa menyerang kita dan keluarga kita. (Lihat QS. Al-Baqarah: 217)

Hal ini diperparah lagi dengan keadaan kaum muslimin dewasa ini yang telah memberikan perhatian terlalu besar kepada ilmu-ilmu dunia, namun lupa ilmu agama yang jelas lebih penting. Ilmu yang menjadi benteng akhlak dan etika seorang muslim dalam hidup, dan menggunakan kemampuannya dalam mengarungi kehidupan yang dipenuhi gelombang ujian dan fitnah. Mereka lupa membina dirinya, keluarga dan anak-anaknya dengan syariat Islam yang telah membentuk para salaf kita menjadi umat terbaik di dunia.

Ibnu al-Qayyim رحمه الله menyatakan, “Berapa banyak orang yang menyengsarakan anak dan buah hatinya di dunia dan akhirat dengan tak acuh dan tidak mendidiknya serta membantu mereka menumpahkan syahwatnya. Dengan itu, ia menganggap telah memuliakannya, padahal ia menghinakannya, atau telah mengasihinya padahal ia telah menzaliminya. Sehingga ia kehilangan (kesempatan) memanfaatkan anaknya (untuk bekal akhirat) dan anaknya pun kehilangan bagiannya di dunia dan akhirat. Apabila engkau perhatikan baik-baik kerusakan pada anak-anak maka engkau dapati umumnya dari pihak orang tua terutama bapak.” (Tuhafatul Maudud fi Ahkam al-Maulud hal. 242)

Beliau juga menyatakan, “Siapa yang tidak memperhatikan pendidikan anaknya semua yang bermanfaat baginya dan meninggalkannya begitu saja, maka ia telah melakukan kejelekan yang paling besar padanya. Mayoritas datangnya kerusakan pada anak-anak, dari pihak bapak dan tidak adanya perhatiannya mereka terhadap anak-anak serta tak mau mengajari anak kewajiban agama maupun sunnah-sunnahnya. Sehingga mereka telah menelantarkan anak-anak sejak masa kecil.
Mereka tidak dapat mengambil manfaat dari diri sendiri, orang tua mereka pun tidak dapat mengambil manfaatnya ketika telah tua nanti.

Sebagaimana ada sebagian orang tua yang mencela anaknya yang durhaka lalu sang anak menjawab, ‘Wahai bapakku, engkau telah mendurhakaiku ketika aku kecil maka (sekarang) aku mendurhakaimu setelah engkau tua dan engkau telantarkan aku ketika aku masih kanak-kanak maka (sekarang) aku menelantarkanmu ketika engkau telah tua.’” (Tuhfat al-Maudud bi Ahkam al-Maulud hal. 229)

Sudahkah kita perhatikan anak-anak kita di rumah, berapa banyak perangkat modern seperti smartphone yang mereka mainkan sehingga mereka lupa apa yang menjadi kewajiban mereka menuntut ilmu syar’i, lupa membaca al-Qur’an dan hadits, serta lupa amal ibadah mereka yang wajib dan sunnah. Belum lagi pergaulan bebas muda mudi, siang dan malam, belum cukup di jalan raya, di sekolah, bahkan di mana saja mereka berada, rasanya sulit dibendungnya, kalau bukan orang tua mereka, siapa lagi yang harus mengurusi mereka?

Semoga keterangan yang singkat ini menjadi pelajaran buat kita sebagai orang tua, dan yang mewakilinya, dan semoga kita semua diberi kemudahan dalam mendidik mereka anak-anak kita. Aamiin…

Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc

Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc adalah mudir Ma'had Al-Furqon Al-Islami Srowo, Sidayu, Gresik, Jawa Timur. Beliau juga merupakan penasihat sekaligus penulis di Majalah Al-Furqon dan Al-Mawaddah

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !