USIA BAGI ORANG YANG BERIMAN

 

Oleh: al-ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron hafizhahullah
Sebagian ulama berkataberkata: “Usia adalah modal hidup seorang hamba, ia membelanjakan untuk dirinya, walaupun banyak, pada hakikatnya sedikit, walaupun umurnya panjang hakikatnya pendek, cita-cita manusia terputus dengan kematiannya.” Dari sinilah Islam menganjurkan kita agar segera beramal shalih dan tidak boleh menyia-nyiakan waktu tanpa ada manfaat untuk akhiratnya walaupun hanya sebentar. (Fatawa Ulama Azhar: 10/331)
Abu bakar pernah berkhutbah, “Ketahuilah wahai hamba Allah! Kalian hidup pada waktu pagi dan sore. Kalian tidak tau ajal kalian. Jika kalian mampu menggunakan umurmu untuk beribadah kepada Allah, tentunya kalian tidak akan mampu tanpa pertolongan Allah, maka bersegeralah beramal shalih waktu hidupmu sebelum berakhir ajalmu, agar kamu tidak mengakhiri hidupmu dengan kejahatanmu.” (Hilyatul Auliya: 1/17)
Dari Ibnu Umar beliau berkata, “Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pernah memegang kedua pundakku seraya bersabda:
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ
“Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau musafir.’”
Ibnu umar berkata, “Jika engkau berada di sore hari jangan menunggu datangnya pagi dan jika engkau berada pada waktu pagi jangan menunggu datangnya sore. Pergunakanlah masa sehatmu sebelum sakit dan masa hidupmu sebelum mati.” (HR. Bukhari: 21/268)
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh berkata:
“Jika manusia mau memahami hadist ini maka di dalamnya terkandung wasiat penting yang sesuai dengan realita. Sesungguhya manusia (Nabi Adam) memulai kehidupannya di surga kemudian diturunkan ke bumi ini sebagai cobaan, maka manusia adalah seperti orang asing atau musafir dalam kehidupannya. Kedatangan manusia di dunia (sebagai manusia) adalah seperti datangnya orang asing. Padahal sebenarnya tempat tinggal Adam dan orang yang mengikutinya dalam masalah keimanan, ketakwaan, tauhid dan keikhlasan pada Allah adalah surga.
Sesungguhnya adam diusir dari surga adalah sebagai cobaan dan balasan atas perbuatan maksiat yang dilakukannya. Jika engaku mau merenungkan hal ini maka engkau akan berkesimpulan bahwa seorang muslim yang hakiki akan senantiasa mengingatkan nafsunya dan mendidiknya dengan prisip bahwa sesungguhnya tempat tinggalnya adalah di surga, bukan di dunia ini. Dia berada pada tempat yang penuh cobaan di dunia ini, dia hanya seorang asing atau musafir sebagaimana yang disabdakan olah Nabi.
Betapa indah perkataan Ibnul Qayyim ketika menyebutkan bahwa kerinduan, kecintaan dan harapan seorang muslim kepada surga adalah karena surga merupakan tempat tinggalnya semula. Seorang muslim sekarang adalah tawanan musuh-musuhnya dan diusir dari negeri asalnya karena Iblis telah menawan bapak kita Adam dan dia melihat, apakah dia akan dikembalikan ke tempat asalnya atau tidak. Oleh karena itu, alangkah bagusnya perkataan seorang penyair:
Palingkan hatimu pada apa saja yang kamu cintai.Tidaklah kecintaan itu kecuali pada cinta pertamamu. Yaitu Allah jalla wa’ala. Berapa banyak tempat tinggal di bumi yang ditempati seorang. Dan selamanya kerinduan hanya pada tempat tinggal yang semula, yaitu surga. (Hadits Arba’in no.40 oleh Abu Fatah Amrullah)
Orang yang rugi adalah orang yang menyia-nyiakan umurnya untuk perkara yang tidak diridhai oleh Allah. Allah berfirman:
قُلْ إِنَّ الْخَاسِرِينَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ
Katakanlah: “sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat. Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. Az-Zumar [39]:15)
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Dia merugikan dirinya sendiri, karena dia tidak bisa mengambil faedah sedikitpun dari umurnya, dan rugi pula keluarganya walaupun mereka orang yang beriman, mereka di surga, tetapi tidak bisa bersenang-senang dengan mereka di akhirat apabila mereka masuk di neraka.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibn Utsaimin: 9/95)

 

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !