KITABUT TAUHID BAB 54 – Larangan Mengucapkan Abdi Atau Amati (Hamba ku)

Diriwayatkan dalam shahih Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَقُلْ أَحَدُكُمْ: أَطْعِمْ رَبَّكَ، وَضِّئْ رَبَّكَ، وَلْيَقُلْ: سَيِّدِيْ وَمَوْلاَي، وَلاَ يَقُلْ أَحَدُكُمْ: عَبْدِيْ وَأَمَتِيْ، وَلْيَقُلْ:  فَتَاي وَفَتَاتِيْ وَغُلاَمِيْ

Janganlah salah seorang di antara kalian berkata: (kepada hamba sahaya atau pelayannya): “Hidangkan makanan untuk gustimu, dan ambilkan air wudhu untuk gustimu”, dan hendaknya pelayan itu mengatakan: “tuanku, majikanku”; dan janganlah salah seorang di antara kalian berkata: (kepada budaknya): “hamba laki-lakiku, dan hamba perempuanku”, dan hendaknya ia berkata: “bujangku, gadisku, dan anakku.”

Kandungan bab ini:

1. Larangan mengatakan “Abdi atau Amati”, yang berarti hambaku.
2. Larangan bagi seorang hamba sahaya untuk memanggil majikannya dengan ucapan: “Rabbi” yang berarti: “gusti pangeranku”, dan larangan bagi seorang majikan mengatakan kepada hamba sahayanya atau pelayannya “أَطْعِمْ رَبَّكَ” yang artinya: “hidangkan makanan untuk gusti pangeranmu”.
3. Dianjurkan kepada majikan atau tuan untuk memanggil pelayan atau hamba sahayanya dengan ucapan “fataya” (bujangku), fatati (gadisku), dan ghulami (anakku).
4. Dan dianjurkan kepada pelayan atau hamba sahaya untuk memanggil tuan atau majikannya dengan panggilan “sayyidi” (tuanku) atau “maulaya” (majikanku).
5. Tujuan dari anjuran di atas untuk mengamalkan tauhid dengan semurni-murninya, sampai dalam hal ucapan.
________________________________

Munasabah bab dengan Kitabut Tauhid

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, mengucapkan ucapan dengan lafadz seperti yang disebutkan mengandung kemungkinan adanya musyarakah (penyekutuan) dalam rububiyah Allah, sehingga dilarang dalam rangka beradab kepada Allah serta penjagaan terhadap tauhid dengan menutup jalan yang dapat mengantarkan kepada syirik. (Al-Mulakhkhash fi Syarh Kitabit Tauhid: 370)

Mengagungkan Allah

Salah satu pondasi dan asas dari agama Islam adalah dibangun di atas mengagungkan Allah dan syari’at-Nya. Allah berfirman:

وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. (QS. Al-Hajj: 32)

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata:

أصل الدين مبني على تعظيم الله تعالى وتعظيم دينه العظيم  ورسله الكرام عليهم الصلاة والسلام، والاستهزاء بشيء من ذلك مناف لهذا الأصل ومناقض له أشد المناقضة

Pokok dari agama adalah mengagungkan Allah, agama dan para Rasul-Nya. Istihza’ dengan hal itu menafikan pokok ini dan sangat bertolak belakang. (Tafsir Taisir Al-Karim Ar-Rahman)

Hindari kata-kata yang bermakna buruk

Salah satu syari’at dalam agama kita adalah menghindari kata-kata yang bisa dimaknai dengan makna yang buruk. Banyak dalil yang menunjukkan atas hal ini, diantaranya firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 104, Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا ۗ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu katakan Ra’ina, tetapi katakanlah, “Unzurna,” dan dengarkanlah. Dan orang-orang kafir akan mendapat azab yang pedih. (QS. Al-Baqarah: 104)

Kata ra’ina pada dasarnya bermakna baik yaitu “perhatikanlah kami.” Para sahabat ketika mengucapkannya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak ada maksud mereka selain ini. Hanya saja – sebagaimana yang dijelaskan dalam Tafsir Al-Muyassar – karena orang-orang Yahudi mempelesetkan kata-kata itu dan menggunakannya untuk berbicara kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam tetapi dengan maksud yang buruk, yaitu “ru’ūnah (bodoh),” maka Allah melarang penggunaan kata-kata itu demi menutup pintu tersebut. Dan Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar menggunakan kata-kata lain sebagai gantinya, yaitu kata-kata “Unzhurna” yang berarti “Tunggulah, agar kami bisa mengerti apa yang engkau ucapkan”. Kata-kata ini memiliki makna yang sama dengan kata-kata sebelumnya tetapi tidak mengandung sesuatu yang terlarang.

Hukum memanggil budak dengan Abdi atau Amati

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, Hukum dalam hal itu terbagi dua:

Pertama, disandarkan kepada orang lain, seperti Abdu fulan atau Amah fulan, maka ini hukumnya boleh. Allah berfirman:

وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. (QS. An-Nur: 32)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي عَبْدِهِ وَلَا فَرَسِهِ صَدَقَةٌ

Tidak ada kewajiban zakat bagi seorang muslim pada budak dan kudanya.” (HR. Bukhari: 1464,Muslim: 982)

Kedua, disandarkan kepada dirinya sendiri, dan ini ada dua gambaran:

1. Dalam bentuk redaksi kabar, seperti dia mengatakan: “Aku telah memberikan makan hambaku, Aku telah memberikan pakaian kepada hambaku, Aku telah memerdekakan hambaku.” Apabila diucapkan tanpa kehadiran abd atau amahnya itu maka tidak mengapa. Apabila diucapkan dengan kehadiran mereka; jika berakibat buruk kepada hamba itu atau tuannya maka terlarang. Adapun kalau tidak maka tidak mengapa, karena dia tidak bermaksud peribadatan, yang dia maksud hanya budak.

2. Dalam bentuk nida’ (panggilan), seperti seorang tuan mengatakan: “Wahai hambaku, bawakan sesuatu.” Maka hal ini yang hukumnya terlarang. Para ulama berselisih mengenai hukumnya apakah makruh ataukah haram, yang jelas minimalnya hukumnya makruh. (Diringkas dari Al-Qaulul Mufid: 338-339)

Larangan dan solusi 

Dari hadits pembahasan bab ini, kita bisa juga mengambil pelajaran penting tentang bagaimana bagusnya cara pengajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan hal itu dari dua sisi:

Pertama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika melarang menjelaskan sebab dari larangan tersebut, dan hal ini memiliki beberapa faidah yaitu:

1. Ketenangan hati seseorang terhadap sebuah hukum ketika ia mendengar sebabnya.

2. Penjelasan terhadap keagungan syari’at Islam dimana semua perintah dan larangannya mengandung hikmah.

3. Bisa dianalogikan kepada permasalahan lain melalui kesamaan sebab.

Kedua, ketika beliau melarang maka beliau memberikan sesuatu yang dibolehkan buat mereka sebagai solusi.

Baca juga Artikel:

Pokok Agama Islam Adalah Mengagungkan Allah

Benarkah ungkapan “Bumi Pertiwi” itu syirik?

Ditulis di Jatimurni Bekasi, Jumat 1 Jumadal Ula 1441H/ 27 Desember 2019M

Zahir Al-Minangkabawi

Follow fanpage maribaraja KLIK

Instagram @maribarajacom

Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja untuk dapatkan artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda di admin berikut KLIK

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !