Mendidik Dengan Cinta, Jangan Sampai Salah Langkah
Allah Tabaaraka wata’ala menanamkan rasa cinta di hati manusia, tentu banyak manfaatnya jika rasa cinta ini digunakan untuk perkara yang diridhai oleh Allah. Bahkan kita wajib menanamkan rasa cinta kepada Allah melebihi kecintaan kita kepada selain-Nya. (Lihat QS. al-Baqarah: 165)
Demikian pula orang yang beriman, tidak mungkin merasakan nikmat dan lezatnya iman melainkan jika Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada mencintai selain keduanya. (Lihat HR. Bukhari: 16)
Anak Suka Disayang
Tidak diragukan bahwa anak kecil sangat berharap rasa cinta dari kedua orang tuanya. Bahkan kecintaan yang diperoleh kemungkinan besar akan menjadi sebab anak berbakti kepada kedua orang tua, mengikuti nasihatnya yang baik, berakhlak mulia; semisal mau diperintah agar beribadah kepada Allah dan perbuatan baik lainnya.
Cinta bisa diwujudkan dengan kata-kata, semisal panggilan sayang atau kalimat serupa yang menyejukkan hatinya. Sebagaimana tatkala Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda kepada sahabat Mu’adz bin Jabal Radhiallahu’anhu,
يَا مُعَاذُ وَاللهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ وَاللهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ
“Wahai Mu’adz, demi Allah, aku mencintaimu. Demi Allah, aku sungguh mencintaimu.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh al-Albani no. 1524)
Bagaimana Mendidik Anak Dengan Cinta Yang Benar?
Orang tua dan pendidik yang berhasil di antaranya karena senantiasa membuat senang anak didiknya. Namun bukan sekedar membuat senang anak, sehingga yang haram pun dilakukan, seperti mengajak anak menari, berjoget, menyanyi, atau perkara haram lainnya. Pendidik bisa membuat senang anak dengan cara yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, di antara caranya:
• Memberi Kesempatan Anak Bermain
Anak tentu senang bila diajak bermain, tetapi hendaknya dibatasi waktunya, baik ketika mereka bermain di rumah atau di sekolah, sehingga tidak mengorbankan waktu untuk ibadah dan belajar. Perhatikan kisah Uqbah bin Amir Radhiallahu’anhu berikut,
“Suatu hari Abu Bakar mengerjakan shalat Ashar kemudian keluar berjalan kaki, lalu dia melihat al-Hasan (cucu Nabi Shallallahu’alaihi wasallam) sedang bermain dengan anak-anak kecil lainnya. Lalu Abu Bakar menggendongnya di atas pundaknya dan berkata, ‘Demi bapakku, kamu mirip sekali dengan Nabi, tapi tak mirip Ali.’ Maka Ali tertawa karenanya.” (HR. Bukhari: 3278)
Demikian juga Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam pada masa kecilnya pernah bermain main dengan teman sebayanya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits pembelahan dada oleh Jibril ketika dalam asuhan Halimah as-Sa’diyyah. (HR. Muslim: 236)
Mainan untuk anak bisa dengan hewan semisal burung, asalkan diberi makan dan dirawat, mobil-mobilan, atau berupa kegiatan fisik yang tidak membahayakan, dan lebih baik bila diawasi oleh pengasuhnya agar tidak terjadi hal buruk. Demikian pula untuk anak perempuan, dihibur dengan permainan kesukaannya, asal tidak merusak badan dan pikirannya.
Jauhkan mereka dari permainan yang merusak akidah dan akhlak ,seperti joget, menari, menyanyi, cerita dusta, menggunakan permainan yang merusak badan atau mengganggu orang lain seperti: bunga api, petasan, terompet, main domino, kartu, atau yang berbau judi, seperti main kelereng (karena ada taruhannya).
Jauhkan pula anak dari bermain di tempat yang kotor. Jauhkan permainan yang mengakibatkan anak tidak beradab dengan orang tua, semisal menonton acara televisi yang banyak maksiatnya, menampilkan adegan kedurhakaan anak dan yang lainnya.
• Mencintai Dengan Menciumnya
Ketika anak masih kecil tentu sangat senang bila sering dicium. Bahkan ciuman bisa memadamkan tangisan dan gelisah hati mereka, mendorong anak mudah untuk diperintah dan diarahkan dengan izin Allah Ta’ala. Karena itu jangan lupa menaruh kecintaan kepada anak dengan ciuman, apalagi saat dia sangat membutuhkan kasih sayang, seperti pada waktu menangis atau sedih. Aisyah Radhiallahu’anha menyebutkan, bahwa ada seorang Arab badui datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi wasallam seraya berkata, “Apakah kalian menciumi anak-anak kalian? Padahal kami saja tidak pernah menciumi mereka.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menjawab,
أَوَأَمْلِكُ لَكَ أَنْ نَزَعَ اللهُ مِنْ قَلْبِكَ الرَّحْمَةَ
“Apakah aku bisa memberikan kepadamu apa yang telah Allah hilangkan dari hatimu berupa sikap kasih sayang?” (HR. Bukhari: 5539)
• Mencintainya Dengan Menghibur Saat Anak Bersedih
Anak terkadang sedih ketika dimarahi oleh keluarganya, atau ketika cekcok/berkelahi, sehingga dia tidak bisa mengerjakan sesuatu, atau tidak bisa beraktivitas seperti biasanya. Ini tentu akan menjadi pikiran dan mengganggu kejiwaan mereka, bahkan boleh jadi merasa putus asa, maka dengan cara menghibur dan menghilangkan kesedihannya, in syaa Allah anak menjadi baik dan mudah menerima nasihat. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam juga pernah menghibur adik Anas bin Malik yang sedang sedih karena burung peliharaannya yang mati. (Lihat HR. Abu Dawud: 4318, 4971 dishahihkan oleh al-Albani)
• Memujinya Dengan Kata-kata Menarik
Tatkala anak mendengarkan pujian orang tua atau pengasuhnya semisal; “Aku menyayangimu”, tentu dia akan gembira dan senang, merasa dirinya diperhatikan. Rasulullah pun pernah melakukannya terhadap al-Hasan bin Ali, cucu beliau Shallallahu’alaihi wasallam. Ketika itu beliau memanggul al-Hasan seraya mengatakan, “Ya Allah, sungguh aku mencintainya. Maka itu cintailah dia. (HR. Bukhari: 3466)
• Memeluknya Jika Masih Kecil
Orang tua bisa memberikan kecintaan kepada anak atau cucunya, agar mereka merasa disayangi serta mudah menerima nasihat dan arahan dengan sering memeluknya, utamanya pada saat anak sedang menangis, merasa sedih, atau ketakutan. Hal ini bisa dipraktikkan pada usia anak masih kecil. Sebab Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam pernah mendekap al-Hasan bin Ali Radhiallahu’anhu dan Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma (Lihat HR. Bukhari: 6728)
• Bercanda Dengan Mereka
Kapan saja bapak dan ibu serta pengasuh bisa bercanda dan menghibur anaknya, lakukanlah agar hati mereka tetap mesra dengan bimbingan orang tua. Misalnya saat ibu sedang memakaikan baju anaknya, dapat mengatakan, “Bagus kan sayang…?” Sambil diajari doa ketika mengenakan baju, dibetulkan tangan mana yang didahulukan bila memakai baju atau menanggalkannya.
Namun yang harus diingat, ketika bercanda tidak boleh berdusta, menghina, dan tidak boleh pula membuat mereka menangis dan bersedih.
Begitulah seharusnya pendidik yang berilmu, berupaya meluangkan waktu untuk bercanda dengan anak kecil, agar ikatan batin anak terhadap orang tua pendidiknya semakin kuat untuk masa depannya.
• Mendoakan Kebaikan
Di antara bentuk cinta yang dapat membangun semangat anak kecil dan mendorong untuk berbuat baik, optimis, dan tidak malas, hendaknya pendidik sering mendoakan kebaikan untuk anak dan murid-muridnya, dengan suara yang bisa mereka dengar, terutama pada saat anak sedang bersedih atau lambat menerima nasihat dan pelajaran. Jika kita senang didoakan oleh orang yang shalih, tentu anak kecil lebih senang jika didoakan agar mereka mudah menerima nasihat dan berubah menjadi baik.
Dahulu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam juga pernah mendoakan Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma dengan kebaikan ketika beliau melihat air wudhu sudah tersedia di dalam bejana. (Lihat HR. Bukhari: 140)
Rasulullah juga pernah mendoakan Anas bin Malik Radhiallahu’anhu yang masih kecil dengan keberkahan di dalam harta, anak, serta umurnya. (Lihat HR. Bukhari: 5859)
• Mempermudah Urusannya
Orang tua bisa mengasihi anak dengan cara mempermudah urusannya. Pada saat anak merasa kesulitan belajar membaca al-Quran, sulit menghafal atau mengerjakan sebuah pekerjaan, maka orang tua atau pendidik bisa membantu dan mempermudah urusannya agar dia tetap optimis dan tidak mudah putus asa. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam saja memerintah para sahabatnya yang menjadi da’i agar senantiasa mempermudah urusan para jama’ah yang mereka sudah dewasa dan matang pikirannya. Maka bagaimana dengan anak kecil yang masih kurang sempurna akalnya?
Jika orang dewasa senang bila dipermudah urusannya, maka anak yang masih kecil tentu lebih suka dipermudah urusannya dan dibantu kebutuhannya.
• Beri Pujian
Memberi pujian yang layak ketika anak berprestasi atau nampak kesungguhannya ketika belajar dan ketika mengerjakan sesuatu akan sangat memotivasi anak dalam meningkatkan prestasinya. Dahulu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam pernah berkata ketika al-Hasan berada di sampingnya,
ابْنِى هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Dia ini adalah seorang Pemimpin, dan semoga Allah akan mendamaikan dua kelompok yang bertikai dari kaum muslimin melalui tangannya (nanti). (HR. Bukhari 2557, 3357)
Bagaimana Mencintai Anak Yang “Nakal”?
Tidak semua perkataan dan perbuatan anak dinilai baik, apalagi dia masih kecil. Maka walaupun anak terkesan “nakal,” orang tua dan pendidik hendaknya tetap mencintainya, apalagi dia belum baligh (meskipunpun hati kita membenci perkataan dan perbuatan jeleknya).
Sebab sering kali kita jumpai pendidik yang salah langkah ketika dihadapkan pada kenakalan anak. Spontan mereka marah dan main tangan. Mereka kira tindakan kekerasan akan segera menyelesaikan perkara. Padahal sebaliknya, anak semakin bertambah jauh. Dan jika anak semakin menjauh, lantas bagaimana anak mau menerima saran dari orang tuanya? Kalau sudah demikian, mana mungkin orang tua akan berhasil mendidik mereka?
Oleh karena itu tatkala anak “nakal”, hendaknya pendidik bisa mengambil hati anak dengan sabar menasihatinya, mencari langkah yang lebih banyak faedahnya, bukan semakin menjauhkan anak dari pendidik melalui tindak kekerasan. Wallahua’lam…
Penulis: Ustadz Aunur Rofiq, Lc
Follow fanpage maribaraja KLIK
Instagram @maribarajacom
One Comment