Ushul Tsalatsah – Khauf dan Raja’

Pada bagian ini Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah memaparkan beberapa dalil dari Al-Qur’an mengenai khauf dan raja’

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan:

ودليل الخوف قوله تعالى : فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ. ودليل الرجاء قوله تعالى : فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Dalil dari Khauf adalah firman Allah subhanahu wata’ala: Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (QS. Ali Imran: 175) Dan dalil Raja’ adalah firman-Nya: Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya. (QS. Al-Kahfi: 110)

Khauf artinya takut sedangkan Raja’ artinya adalah harap

Khauf dan Raja’ adalah pondasi ibadah

Salah satu pilar pokok dalam beribadah menurut Ahlussunnah wal Jama’ah adalah menggabungkan tiga hal yaitu perasaan hubb (cinta), khauf dan raja’ secara bersamaan. Tidak boleh dengan salah satunya saja.

Pertama, cinta. Di antara dalil yang menunjukkan akan hal ini adalah firman Allah:

قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. At-Taubah: 24)

Kedua dan Ketiga, Khauf dan Raja’ dalilnya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh penulis di atas.

Khauf harus wasath (pertengahan)

Takut yang terpuji adalah pertengahan antara ghuluw dan meremehkan. Dan patokannya adalah takut yang dapat menghalangi dari hal-hal yang diharamkan Allah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:

“Takut kepada Allah bertingkat-tingkat; diantara manusia ada yang ghuluw dalam takutnya, diantara mereka ada pula yang meremehkan dan diantara mereka juga ada yang adil (pertengahan). Khauf yang adil adalah khauf yang dapat menghalangi dari hal-hal yang diharamkan Allah. Apabila lebih dari itu maka akan mengantarkanmu kepada keputusan asaan dari rahmat Allah. Diantara manusia apa juga yang meremehkan dalam hal khaufnya sehingga tidak bisa menghalanginya dari sesuatu yang dilarang Allah.” (Al-Qaulul Mufid: 2/67)

Macam-macam Khauf

Khauf ada 3 macam:

Pertama, Khauf ibadah, yaiu penghinaan diri, pengagungan serta tunduk. Seorang mengibadahi sesuatu dengan perasaaan takutnya. Takut yang jenis ini harus ditujukan untuk Allah. Barang siapa yang mempersekutukan Allah dalam hal ini maka dia terjatuh pada syirik besar.

Kedua, khauf tabiat. Pada asalnya takut ini hukumnya mubah. Karena para Nabi saja memiliki rasa takut seperti ini. Allah berfirman tentang Nabi Musa:

فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفًا يَتَرَقَّبُ ۖ قَالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdoa: “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu”. (QS. Al-Qashash: 21)

Allah juga berfirman menghikayatkan ucapan Nabi Musa:

قَالَ رَبِّ إِنِّي قَتَلْتُ مِنْهُمْ نَفْسًا فَأَخَافُ أَن يَقْتُلُونِ

Musa berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku, telah membunuh seorang manusia dari golongan mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku.” (QS. Al-Qashash: 33)

Akan tetapi, apabila takut ini menyebabkan seorang meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram, maka hukumnya haram. Seperti seorang takut terhadap sesuatu yang tidak akan memberikan pengaruh kepadanya kemudian menyebabkan dia meninggalkan shalat berjama’ah. (Lihat: Al-Qaulul Mufid: 2/68)

Khauf sirr, yaitu takut yang disebabkan oleh sesuatu yang samar tidak jelas atau dengan kata lain takut yang yang sebabnya tidak masuk akal. Seperti seorang yang takut kepada berhala atau kuburan dan orang-orang yang sudah meninggal atau kepada orang-orang yang anggap wali yang diyakini bisa memberi manfaat atau mudharat, dst dari sebab-sebab yang tidak masuk akal. Inilah yang membedakan dengan Khauf Tabiat yang sebab takutnya itu masuk akal. Khauf sirr ini juga termasuk syirik.

Mentauhidkan Allah Dalam Raja’

Mentauhidkan Allah dalam Raja’ maksudnya adalah seseorang hendaknya hanya berharap kepada Allah saja. Meminta segala sesuatu hanya kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada Abdullah bin Abbas:

احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ ، احْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ

“Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapati-Nya ada di hadapanmu. Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. Jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah.” (HR. Tirmidzi: 2516, Shahih al-Jami’: 7957)

Meminta kepada Allah semuanya mulai dari hal yamg besar atau pun hal yang kecil. Sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 لِيَسْأَلْ أَحَدُكُمْ رَبَّهُ حَاجَتَهُ كُلَّهَا حَتَّى يَسْأَلَ شِسْعَ نَعْلِهِ إِذَا انْقَطَعَ

“Hendaklah setiap kalian meminta kepada Rabbnya semua kebutuhannya, sampai-sampai tali sandalnya putus.” (HR. Ibnu Hibban:894, Tirmidzi: 8/3604, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Misykah: 29)

Semakin besar harapan seseorang dan rasa butuhnya kepada Allah maka akan semakin mulia dan sempurna tauhidnya. Imam Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan:

وَ كَانَ بَعضُ السَّلَفِ يَسأَلُ اللَّهَ فِي صَلَاتِهِ كُلَّ حَوَائِجِهِ حَتَّى مِلحَ عَجِينِهِ وَ عَلَفَ شَاتِهِ

“Dahulu ada diantara salaf itu yang meminta kepada Allah (berdo’a) dalam shalatnya segala kebutuhan hidupnya sampai pun garam untuk adonan dan pakan kambingnya.” (Jami’ul ulum wal hikam: 302)

Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita sehingga kita bisa mentauhidkan-nya dalam Khauf dan Raja’

Lihat Arsip Artikel Ushul Tsalatsah:

Arsip Pelajaran Kitab Ushul Tsalatsah

Selesai disusun di Jatimurni, Selasa 27 Dzulhijjah 1441H/ 17 Agustus 2020 M

Zahir Al-Minangkabawi

Follow fanpage maribaraja KLIK

Instagram @maribarajacom

Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja atau dapatkan broadcast artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda  di admin berikut KLIK

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !