KITABUT TAUHID BAB 34 – Merasa Aman Dari Makar Allah dan Putus Asa Dari Rahmat-Nya

Firman Allah:

فَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ ۚ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tiada terduga-duga)? tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf: 99)

قَالَ وَمَن يَقْنَطُ مِن رَّحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ

Dan tiada yang berputus asa dari rahmat Rabnya kecuali orang-orang yang sesat.” (QS. Al-Hijr: 56)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya tentang dosa-dosa besar, beliau menjawab:

الشِّرْكُ بِاللهِ، وَالْيَأْسُ مِنْ رَوْحِ اللهِ، وَالأَمْنُ مِنْ مَكْرِ اللهِ

“Yaitu: syirik kepada Allah, berputus asa dari rahmat Allah, dan merasa aman dari makar Allah.”

Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, ia berkata:

أَكْبَرُ الْكَبَائِرِ: الإِشْرَاكُ بِاللهِ، وَالأَمْنُ مِنْ مَكْرِ اللهِ، وَالْقُنُوْطُ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ، وَالْيَأْسُ مِنْ رَوْحِ اللهِ

“Dosa besar yang paling besar adalah: mensekutukan Allah, merasa aman dari siksa Allah, berputus harapan dari rahmat Allah, dan berputus asa dari pertolongan Allah.” (HR. Abdur Razzaq).

Kandungan bab ini:

1. Penjelasan tentang ayat dalam surat Al A’raf.
2. Penjelasan tentang ayat dalam surat Al Hijr.
3. Ancaman yang keras bagi orang yang merasa aman dari siksa Allah.
4. Ancaman yang keras bagi orang yang berputus asa dari rahmat Allah.

_____________________________________

Mukmin berada diantara takut dan harap

Menggabungkan antara perasaan takut dan harap, ditambah dengan perasaan cinta kepada Allah dalam diri seorang mukmin adalah salah satu pondasi ibadah menurut ahlussunnah waljamaah. Barangsiapa yang tidak menggabungkan tiga hal ini dan hanya beribadah berlandaskan salah satunya saja maka dia akan menjadi orang yang tersesat. Dahulu sebagian salafush shalih mengatakan:

مَنْ عَبَدَ اللَّهَ بِالْحُبِّ وَحْدَهُ فَهُوَ زِنْدِيقٌ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالْخَوْفِ وَحْدَهُ فَهُوَ حَرُوْرِيٌّ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالرَّجَاءِ وَحْدَهُ فَهُوَ مُرْجِيءٌ

“Siapa yang mengibadahi Allah dengan perasaan cinta saja maka ia adalah seorang zindiq. Siapa yang mengibadahi-Nya dengan perasaan takut saja maka dia adalah seorang Haruri (Khawarij). Dan siapa yang mengibadahi-Nya dengan perasaan harap saja maka dia adalah seorang Murjiah.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil Aqidah: 13)

Mukmin beramal shalih dalam keadaan takut, sedang fajir bermaksiat tanpa takut

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah mengatakan:

الْمُؤمِنُ يَعْمَلُ بِالطَّاعَاتِ وَهُوَ مُشْفِقٌ وَجِلٌ خَائفٌ، وَالفَاجِرُ يَعْمَلُ بِالْمَعَاصِي وَهُوَ آمِنٌ

Seorang mukmin mengerjakan ketaatan-ketaatan dalam keadaan ia merasa khawatir dan takut. Adapun seorang  yang fajir mengerjakan kemaksiatan-kemaksiatan dalam keadaan ia merasa  aman. (Tafsir Ibn Katsir: 2/234, Mausu’ah Nadhratin Na’im: 4003)

Memang demikianlah seorang mukmin, beribadah kepada Allah dengan menggabungkan sifat cinta, harap, dan takut. Allah berfirman:

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka selalu berdoa kepada Kami dengan perasaan harap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu.‘” (QS. al-Anbiyaa’:90)

Nabi dan para sahabat tidak ada yang merasa aman dari makar Allah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai seorang yang terjaga dari dosa dan kesalahan, semua dosanya telah diampuni oleh Allah. Akan tetapi beliau tetap tidak pernah merasa aman dari makar Allah subhanahu wata’ala. Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu anhu, ia menuturkan:

خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى زَمَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَقَامَ فَزِعًا يَخْشَى أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ فَقَامَ يُصَلِّى بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَرُكُوعٍ وَسُجُودٍ مَا رَأَيْتُهُ يَفْعَلُهُ فِى صَلاَةٍ قَطُّ

“Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau langsung berdiri ketakutan karena khawatir akan terjadi hari kiamat. Hingga beliau pun mendatang masjid kemudian shalat yang lama berdiri, ruku’ dan sujudnya. Aku belum pernah melihat beliau melakukan hal itu dalam shalat apa pun.” (HR. Muslim: 912)

Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia menuturkan:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى قَامَ حَتَّى تَفَطَّرَ رِجْلَاهُ قَالَتْ عَائِشَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَصْنَعُ هَذَا وَقَدْ غُفِرَ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ أَفَلَا أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam apabila shalat, beliau berdiri hingga bengkak kedua kakinya. Aisyah berkata: Wahai Rasulullah, kenapa engkau melakukan ini padahal Allah telah mengampuni dosamu yang telah berlalu dan yang akan datang. Beliau bersabda: “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur?” (HR. Bukhari: 1130, Muslim: 2820)

Demikian juga dengan para sahabat. Semisal sepuluh orang sahabat yang telah dijamin masuk surga, meski mereka telah mendapatkan jaminan namun tidak ada seorangpun yang kemudian merasa aman dari makar Allah berupa ketergelinciran ke dalam kesesatan. Mareka semua ada para ahli ibadah, karena Anas bin Malik pernah mengatakan:

فَمَا فَرِحْنَا بَعْدَ الْإِسْلَامِ فَرَحًا أَشَدَّ مِنْ قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّكَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ قَالَ أَنَسٌ فَأَنَا أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ فَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِأَعْمَالِهِمْ

“Tidak ada yang lebih menyenangkan hati kami setelah masuk Islam selain sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi: ‘Sesungguhnya kamu akan bersama orang yang kamu cintai.’ Anas berkata; ‘Karena saya mencintai Allah, Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar, maka saya berharap kelak akan bersama mereka meskipun saya tidak dapat beramal seperti mereka.” (HR. Muslim: 2639)

Mukmin melihat dosanya seperti gunung

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu pernah mengatakan:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ فَقَالَ بِهِ هَكَذَا

“Sesungguhnya orang mukmin melihat dosa-dosanya seperti ia duduk di pangkal gunung, ia khawatir gunung itu akan menimpanya, sedangkan orang fajir (selalu berbuat dosa) melihat dosa-dosanya seperti lalat yang menempel di batang hidungnya, kemudian ia mengusirnya seperti ini lalu terbang.” (HR. Bukhari: 6308)

Salah satu hal yang membedakan kita dengan generasai terbaik yaitu kita melihat pada besar atau kecilnya dosa, sehingga kita pun merasa biasa-biasa saja dengan dosa kecil. Sedangkan para sahabat yang mereka lihat adalah siapa yang dimaksiati itu, hingga dosa kecil pun di mata mereka adalah sesuatu yang besar. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan:

إِنَّكُم لَتَعمَلُونَ أَعمَالًا هِيَ أَدَقُّ فِي أَعيُنِكُم مِنَ الشَّعرِ كُنَّا نَعُدُّهَا عَلَى عَهدِ رَسُولِ اللَّهِ مِنَ المُوبِقَاتِ

“Sungguh kalian melakukan amalan yang di mata kalian lebih halus dari sehelai rambut, padahal kami dahulu di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganggapnya termasuk di antara perkara yang membinasakan.” (HR. Bukhari: 6492)

Kenapa?? Karena mereka paham hakikat dosa kecil itu, sebab Rasulullah bersabda:

إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ ، كَقَوْمٍ نَزَلُوا فِي بَطْنِ وَادٍ ، فَجَاءَ ذَا بِعُودٍ ، وَجَاءَ ذَا بِعُودٍ ، حَتَّى أَنْضَجُوا خُبْزَتَهُمْ ، وَإِنَّ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ مَتَى يُؤْخَذْ بِهَا صَاحِبُهَا تُهْلِكْه

“Hati-hatilah kalian terhadap dosa-dosa kecil yang perumpamaannya seperti suatu kaum yang singgah di sebuah lembah. Lalu yang satu datang membawa kayu, yang satu lagi juga membawa kayu sehingga kumpulan kayu itu pun dapat mematangkan roti mereka. Dan sesungguhnya dosa-dosa kecil itu ketika dilakukan akan membinasakan pelakunya.” (HR. Ahmad: 22302)

Oleh sebab itu, ingatlah selalu petuah orang-orang salih dahulu:

 لا تَنْظُرْ إِلَى صِغَرِ الْخَطِيئَةِ ، وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى عَظَمَةِ مَنْ تَعْصِي

“Jangan lihat pada kecilnya dosa, akan tetapi lihatlah pada besarnya Dzat (Allah) yang engkau maksiati.”

Tanda merasa aman dari makar Allah yaitu Terus menerus di atas kemaksiatan

Imam Al-Farra’ rahimahullah mengatakan:

والمكرُ من الله استدراجٌ، لا على مكرِ المخلوقين

Makar Allah adalah istidraj bukan seperti makar makhluk.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:

ومَكْرُهُ أنْ يُعاقبَهُ على الذنبِ لكن من حيثُ لا يشعر

Makar Allah yaitu Allah menghukum seorang hamba atas dosanya akan tetapi tanpa ia sadari.

Dinukil dari artikel di alukah.net dengan judul Min A’zhami adz-Dzunub Al-Amnu min Makri Allah

Dan tanda istidraj adalah nikmat yang diperoleh dalam keadaan bermaksiat kepada Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنْ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ

Jika kalian melihat Allah memberikan dunia kepada seorang hamba pelaku maksiat dengan sesuatu yang ia sukai, maka sesungguhnya itu hanyalah merupakan istidraj.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membacakan ayat: ‘(Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang Telah diberikan kepada mereka, kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang Telah diberikan kepada mereka, kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa) ‘. [QS. Al-An’am: 44] (HR. Ahmad: 16673)

Imam Abu Hazim Salamah bin Dinar rahimahullah, seorang ulama dan orang shalih dari generasi tabi’in, pernah menasehati Abdurrahman bin Jarir rahimahullah, beliau mengatakan:

لَا تَنسَ يَا عَبدَ الرَّحمَنِ أَنَّ يَسِيرَ الدُّنْيَا يَشغَلُنَا عَنْ كَثِيرِ الآخِرَة، وَكُلُّ نِعمَةٍ لَا تُقَرِّبُكَ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَهُوَ نِقمَةٌ

Jangan lupa wahai Abdurrahman, bahwa kemewahan dunia yang sedikit ini akan menyibukkan kita dari kenikmatan akhirat yang banyak. Setiap nikmat yang tidak menjadikanmu dekat dengan Allah, maka itu adalah azab.” (Suwar min Hayatit Tabi’in: 193)

Jika kita renungi, nasehat berharga itu tidak hanya untuk Abdurrahman bin Jarir, namun juga untuk kita semua. Itulah yang harus digaris bawahi “Setiap nikmat yang tidak mendekatkanmu dengan Allah maka itu adalah azab.”

Oleh sebab itu, lihatlah setiap kelapangan dan sesuatu yang kita anggap nikmat. Apakah dapat membuat kita semakin dekat dengan Allah ataukah sebaliknya. Pekerjaan dengan hasil besar, jika justru membuat kita semakin jauh dari Allah; shalat lalai, majelis taklim tak ada waktu, masjid terasa jauh, belajar agama berat, maka itu hakikatnya adalah musibah yang akan menyengsarakan. Nikmat-nikmat seperti itu harus segera ditinggalkan. Karena ia ibarat minuman yang terasa manis, beraroma dan berwarna menggoda selera, tapi ia sebenarnya adalah racun yang mematikan.

Mukmin yang dicintai Allah disegerakan hukumannya

Seorang mukmin yang bermaksiat maka akan disegerakan hukumnya di dunia, agar tidak menjadi istidraj bagi dirinya sekaligus sebagai pembersih untuk dirinya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada hamba-Nya, maka Allah menyegerakan hukumannya di dunia, dan apabila Allah menghendaki keburukan kepada hamba-Nya maka Allah menahan dosanya sehingga dia terima kelak di hari Kiamat.” (HR. Tirmdzi: 2396)

Dari Abdullah bin Mughaffal radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Ada seorang lelaki bertemu dengan seorang wanita yang dahulunya adalah pelacur pada zaman jahiliyah. Lalu lelaki itu mulai merayu hingga tangannya terbentang akan menjamahnya. Wanita itu lantas berkata, ‘Apa-apaan ini?! Sesungguhnya Allah sudah menghapus masa jahiliyah dan menggantinya dengan Islam.’

Lelaki itu pun langsung berbalik pergi, lalu wajahnya menabrak tembok hingga robek. Kemudian ia mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam dan mengabari beliau kisahnya. Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

أَنْتَ عَبْدٌ أَرَادَ اللهُ بِكَ خَيْرًا، إِذَا أَرَادَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ بِعَبْدٍ خَيْرًا، عَجَّلَ لَهُ عُقُوبَةَ ذَنْبِهِ، وَإِذَا أَرَادَ بِعَبْدٍ شَرًّا، أَمْسَكَ عَلَيْهِ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَفَّى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُ عَيْرٌ

Engkau adalah seorang hamba yang diinginkan kebaikan bagimu. Jika Allah berkehendak baik kepada hamba-Nya, Dia akan menyegerakan hukuman dari dosa seorang hamba. Namun jika Dia berkehendak jelek terhadap seorang hamba, Allah biarkan dia dan dosanya hingga dibalas secara penuh dengan sebab dosanya kelak pada hari kiamat, seakan-akan itu adalah gunung ‘Air (gunung di Madinah).’” (HR. Ahmad: 16204)

Oleh sebab itu, ketika kita melakukan maksiat lantas dibayar kontan; dihukum langsung di dunia oleh Allah subhanahu wata’ala maka itu adalah sebuah hal yang patut disyukuri, karena Allah masih sayang dan mengiginkan kebaikan pada kita.

Sebaliknya, hati-hatilah dengan “nikmat kasat mata.” Saat kita melakukan maksiat, kita tidak dihukum. Bahkan semakin mendapat kemudahan; badan sehat, harta lapang, usaha lancar dan semakin berkembang. Karena itu adalah Istidraj yaitu cara Allah menghukum seorang dengan perlahan, dibiarkan dulu sementara waktu, biar dia semakin larut dalam maksiat dan biar dosanya semakin bertumpuk dan berlipat, lalu nanti dibayar total keseluruhan agar menjadi lebih menyakitkan. Dan itulah makar Allah subhanahu wata’ala.

Istiqamah adalah cara menghindar dari sifat merasa aman dari makar Allah

Untuk menghindari diri dari merasa aman dari makar Allah adalah dengan istiqamah di atas ketaatan. Sebab penentu sebuah amal terletak pada penutupnya. Dari Sahal bin Sa’d radhiyallahu anhu, ia menceritakan:

Ada seorang laki-laki muslim yang gagah berani dalam peperangan ikut serta bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperhatikan orang itu dan berujar; “Barangsiapa ingin melihat lelaki penghuni neraka, silakan lihat orang ini.” Seorang sahabat akhirnya menguntitnya, dan rupanya lelaki tersebut merupakan orang yang paling ganas terhadap orang-orang musyrik. Hingga akhirnya lelaki tersebut terluka dan dia ingin segera dijemput kematian sebelum waktunya, maka ia ambil ujung pedangnya dan ia letakkan di dadanya kemudian ia hunjamkan hingga tembus diantara kedua bahunya. Sahabat yang menguntit lelaki tersebut pun langsung bergegas menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berujar; ‘Aku bersaksi bahwa engkau utusan Allah.’ ‘Apa itu? ‘ Tanya Nabi. Sahabat itu menjawab; ‘Engkau tadi berkata; ‘Siapa yang ingin melihat penghuni neraka, silakan lihat orang ini,’ Dia merupakan orang yang paling pemberani diantara kami, kaum muslimin. Lalu aku tahu, ternyata dia mati tidak diatas keislaman, sebab dikala ia mendapat luka, ia tak sabar menanti kematian, lalu bunuh diri.’ Seketika itu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَإِنَّهُ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَإِنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَإِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ

“Sungguh ada seorang hamba yang melakukan amalan-amalan penghuni neraka, namun berakhir menjadi penghuni surga, dan ada seorang hamba yang mengamalkan amalan-amalan penghuni surga, namun berakhir menjadi penghuni neraka, sungguh amalan itu ditentukan dengan penutupnya.” (HR. Bukhari: 6607)

Di antara kiat untuk istiqamah yaitu

1. Berdo’a

Berdo’a dan bersungguh-sungguh meminta istiqamah kepada Allah. Karena telah berjanji akan mengabulkan permintaan hamba-Nya Allah berfirman:

ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. (QS. Ghafir: 60)

Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata dari Allah bahwa Ia berfirman:

يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ

Hai hamba-Ku, kamu sekalian berada dalam kesesatan, kecuali orang yang telah Aku beri petunjuk. Oleh karena itu, mohonlah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku akan memberikannya kepadamu. (HR. Muslim: 2577)

Beberapa do’a untuk meminta istiqamah:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيم

Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus. (QS. Al-Fatihah: 6)

اللَّهُمَّ اهْدِنِي وَسَدِّدْنِي وَاذْكُرْ بِالْهُدَى هِدَايَتَكَ الطَّرِيقَ وَالسَّدَادِ سَدَادَ السَّهْمِ

Ya Allah, berikanlah petunjuk kepadaku. Berilah aku jalan yang lurus. Jadikan petunjuk-Mu sebagai jalanku dan kelurusan hidupku selurus anak panah.” (HR. Muslim: 2725)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering berdo’a dengan do’a:

يَا مُقَلِّبَ القُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR. Tirmidzi: 2140, Ibnu Majah: 3834 Dihasankan oleh al-Albani dalam al-Silsilah ash-Shahihah no. 2091)

2. Senantiasa takut

Diantara kiat untuk selamat dari sifat merasa aman dari makar Allah juga yaitu senantiasa merasa takut kepada Allah. Akan tetapi takut yang terpuji adalah takut yang pertengahan antara ghuluw dan meremehkan. Dan patokannya adalah takut yang dapat menghalangi dari hal-hal yang diharamkan Allah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:

Takut kepada Allah bertingkat-tingkat; diantara manusia ada yang ghuluw dalam takutnya, diantara mereka ada pula yang meremehkan dan diantara mereka juga ada yang adil (pertengahan). Khauf yang adil adalah khauf yang dapat menghalangi dari hal-hal yang diharamkan Allah. Apabila lebih dari itu maka akan mengantarkanmu kepada keputusan asaan dari rahmat Allah. Diantara manusia apa juga yang meremehkan dalam hal khaufnya sehingga tidak bisa menghalanginya dari sesuatu yang dilarang Allah.” (Al-Qaulul Mufid: 2/67)

Semoga Allah melindungi kita dari musibah ini dan menyelamatkan kita dari api neraka serta memasukkan kita ke dalam surga-Nya. Amiin.

Baca juga Atikel

KITABUT TAUHID BAB 32 – Takut Kepada Allah

Lima Kiat Istiqamah

Ditulis di rumah mertua tercinta Jatimurni Bekasi, Selasa 20 Rabi’ul Akhir 1441H/ 17 Desember 2019M

Zahir Al-Minangkabawi

Follow fanpage maribaraja KLIK

Instagram @maribarajacom

Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja untuk dapatkan artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda di admin berikut KLIK

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !